Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Emansipasi Perempuan di Masjid

16 Juni 2020   12:34 Diperbarui: 16 Juni 2020   12:31 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
palembang.tribunnews.com

Salah satu unsur penyokong kemakmuran masjid terletak pada antusiasnya jamaah untuk datang ke masjid. Meskipun, antusiasnya ini hanya diindikatori dengan pelaksanaan shalat fardhu lima waktu. Tapi itu pun sudah cukup untuk membuktikan kemakmuran sebuah masjid, tentunya dengan kuantitas jamaah yang terus meningkat. Bukankah itu sudah selesei jika kemakmuran hanya dilihat dalam perspektif kuantitas peribadatan?

Di dalam istilah 'jamaah' sendiri, terdapat unsur penyokongnya juga. Misalnya jika dilihat dari segi biologis, ada jamaah pria dan ada jamaah perempuan. Namun terkadang, kuantitas antara jamaah pria dan perempuan seringkali terlihat timbangan berat sebelah. Hampir semua masjid yang saya temui, ketika shalat fardhu dilaksanakan, jamaah perempuan hanya setengah dari jamaah pria. Bahkan saya pernah berjamaah di masjid pinggiran kota, perempuannya hanya dua orang, berbanding dengan jamaah pria yang hampir empat shaf shalat.

Akan tetapi jika dibanding lagi dari sisi kualitas, jamaah perempuan kadang lebih unggul daripada jamaah pria. Misalnya dalam hal mengaji Al-Qur'an. Jamaah perempuan lebih rutin, lebih tertib, dan lebih istiqomah dalam mengaji Al-Qur'an.

Namanya Ibu Maimunah. Ia merupakan salah seorang jamaah di sebuah masjid pinggiran Kota Yogyakarta. Usianya sudah kepala empat. Namun wajahnya terlihat awet muda. Tubuhnya tidak terlalu gemuk dan perawakannya cukup tinggi. Profesinya sebagai penjual makanan di pinggir jalan, tidak menyurutkan intensitas kedatangannya untuk menunaikan shalat berjamaah.

Saat itu, kira-kira di tahun 2017, di masjid tempatnya shalat belum ada pengajian al-Qur'an khusus untuk jamaah perempuan. Melalui inisiatif Ibu Maimunah dengan mengorganisir jamaah perempuan lainnya, akhirnya ia dan empat orang jamaah perempuan mendirikan kelompok pengajian al-Qur'an khusus ibu-ibu di masjid itu. Lantas ia menyampaikan maksudnya kepada pengurus masjid agar mendapat bimbingan khusus.

Ceritanya banyak ibu-ibu yang ingin membenarkan bacaan al-Qur'annya, ingin tahu maksud ayat-ayat al-Qur'an, bahkan juga ada yang hanya sekadar bisa membaca, tidak lebih. Dua orang jamaah yang lain, ceritanya ingin ikut pengajian al-Qur'an agar lancar dan bisa mengoreksi bacaan anaknya di rumah. Ya memang orang tua adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya, dalam hal apapun.

Terjadi negoisasi yang alot dengan pengurus masjid, singkat cerita, maksud Ibu Maimunah dikabulkan. Toh, pengajial al-Qur'an itu arahnya juga untuk memakmurkan masjid.

Awalnya jadwal pengajian al-Qur'an ibu-ibu sekali setiap pekannya, yakni hari Minggu, usai shalat Magrib sampai memasuki waktu shlat Isya. Namun karena antusiasnya sangat tinggi, dan kuantitas yang ikut pengajian al-Qur'an semakin banyak, akhirnya jadwalnya di tambah menjadi tiga kali dalam sepekan, yakni hari Senin dan Rabu. 

Kata pengurus masjidnya, "biar yang membacanya belum lancar karena faktor usia, bisa menyusul mereka yang sudah lancar. Selain itu ini bagus, untuk merutinkan kembali membaca al-Qur'an."

Kata Ibu Maimunah, "alhamdulillah mas, sekarang banyak yang ikut. Ya tidak apa-apa kalau misal ada ibu-ibu yang tidak bisa ikut pengajian sesuai jadwal yang ditambahkan, yang terpenting kita mengaji. Kasihan juga (mereka) yang masih kurang lancar, sedangkan pengajian al-Qur'annya hanya satu kali dalam seminggu. Minggu ini diajar apa, minggu depannya sudah lupa lagi. 

Alangkah lebih baik jadwalnya ditambah. Yang bisa istiqomah ya alhamdulillah, yang tidak juga tidak apa-apa. Toh semua punya kesibukkannya masing-masing mas." Ia mengatakan itu dengan wajah sumringah. Inisiatifnya disambut baik, diapresiasi dengan semakin banyaknya jamaah perempuan yang ikut pengajian al-Qur'an, dan terakhir bisa memakmurkan masjid dengan cara yang berkualitas, tidak hanya kuantitas.

Lantas, kata siapa perempuan tidak berdaya, hanya bisa mengurusi urusan domestik, dan tidak bisa tampil di publik? Ibu Maimunah bisa menjadi prototipe paling sederhana untuk membantah itu semua. Begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun