Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bersalaman

15 Juni 2020   14:57 Diperbarui: 15 Juni 2020   15:09 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pak Rakim hanya diam. Menginsyafi keceplosan yang sudah tidak bisa ditolerir lagi.

"Ya kalau mau guyonan itu ada batasnya. Masak habis shalat, wiridan belum rampung, doa tengah dipanjatkan, kok bisa-bisanya keluar ucapan seperti itu", tambah Om Yuki. Kali ini kepalanya turut geleng-geleng.

Memang Om Yuki ini meskipun seorang waria, ia selalu menunaikan lima waktu shalat dan pengajian di masjid, jarang sekali ia tidak hadir. Peci juga selalu ia kenakan di kepalanya. Katanya dulu, "biar saya tidak lagi diremehkan hanya karena saya waria".

"Iya iya, saya minta maaf. Saya salah," tutur Pak Rakim.

Om Yuki hanya mengangguk pertanda perseteruannya disudahi. Meski demikian, keakraban mereka berdua tidak lagi seperti sebelum kejadian itu. "Saya memang sudah memaafkannya. Tapi saya tidak bisa lagi akrab seperti semula, karena saya sudah tahu karakternya seperti apa. Daripada dia (Pak Rakim) nanti keceplosan dan membuat saya sakit hati lagi, mending saya yang agak jaga jarak dengannya. Sama-sama menjaga biar tidak terulang kesalahan yang sama", ujarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun