Mohon tunggu...
aldis
aldis Mohon Tunggu... Arsitektur Enterprise

Arsitektur Enterprise, Transformasi Digital, Travelling,

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Luka Tersembunyi Transformasi Digital : Shadow IT dan Sindrom Not Invented Here

20 September 2025   08:13 Diperbarui: 20 September 2025   13:23 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di pojok ruangan unit kerja kecil yang penuh map kusam dan tumpukan formulir, seorang staf lulusan S1 komputer mendesah panjang. Suara printer berdengung, notifikasi whatsapp dan email masuk silih berganti, sementara laporan harus segera sampai di meja atasan.
Sore itu, dengan secangkir kopi dingin yang belum sempat disentuh, ia membuka laptop tuanya. “Harus ada cara lain,” gumamnya. Dari Google, ia menyalin potongan skrip open source, memodifikasi baris demi baris, bahkan sesekali mendownload skrip bajakan yang bertebaran di forum gelap. Beberapa jam kemudian, lahirlah sebuah aplikasi mini. Sederhana, seadanya, tapi cukup untuk mengotomasi pencatatan yang selama ini menyita waktu. Keesokan harinya, dengan wajah penuh kebanggaan, ia memamerkan aplikasi itu ke rekan-rekannya. “Lebih cepat dan lebih mudah,” katanya, tanpa sadar bahwa apa yang ia banggakan bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar—dan lebih berisiko. Shadow IT yang lahir dari semangat individual.

Meskipun  bukan bagian dari unit teknologi informasi, dalam dirinya bekerja dorongan yang dikenal dalam psikologi sebagai Self-Determination Theory, yakni kebutuhan untuk merasakan otonomi dan kompetensi. Ia merasa lebih puas mencipta solusinya sendiri ketimbang sekadar memakai sistem besar yang rumit. Mungkin juga, pengaruh sindrom yang kerap dialami para teknisi, yaitu Not Invented Here, kecenderungan menolak solusi dari luar hanya karena bukan hasil karya sendiri. Dengan membuat aplikasi, ia merasa memiliki psychological ownership, seakan-akan sistem kecil itu adalah anak kandung digital yang lebih mudah ia rawat daripada ERP besar yang dingin dan asing.

Belakangan, ada sesuatu yang semakin menggoda dirinya. Setiap kali ia berhasil membuat aplikasi kecil untuk keperluan unit, atasannya memberikan apresiasi, kadang berupa uang tambahan, kadang hanya lewat proposal kegiatan yang disetujui dengan mudah, kadang perjalan dinas keluar kota. Bagi staf ini, hadiah itu seperti pengakuan atas kecerdasannya, semacam validasi bahwa jalannya benar. Ia semakin rajin membuat aplikasi, semakin bersemangat menuliskan baris-baris kode, walau sekadar potongan sederhana.

Meskipun kelak , imbalan kecil itu tak sebanding dengan kerugian besar yang ditanggung organisasi. 

Aplikasi-aplikasi yang ia bangun memang tampak praktis, tetapi tidak terintegrasi dengan sistem utama. Data yang masuk ke aplikasi buatan sendiri tidak pernah tersambung ke ERP yang megah. Lama-kelamaan, laporan resmi berbeda dengan laporan di unit. Angka-angka menjadi ganda, tumpang tindih, dan membingungkan. Atasan mungkin senang dalam jangka pendek, tapi tanpa sadar justru menanam benih masalah jangka panjang bagi instansi.

Sementara itu, di ruang rapat ber-AC yang dinginnya sering tak mampu mengusir rasa lelah, tim teknologi informasi tengah berjibaku. Bertahun-tahun mereka bekerja bersama konsultan, software house, dan pimpinan instansi. Sistem ERP yang megah telah dibangun dan diimplementasikan dengan biaya tak sedikit. Semua modul, mulai dari keuangan, sumber daya manusia, hingga logistik, dirancang untuk saling terhubung dalam satu ekosistem raksasa. Mereka membayangkan data mengalir mulus, laporan strategis keluar otomatis, dan pimpinan dapat mengambil keputusan berdasarkan angka yang valid.

Tidak berhenti di sana, ERP ini sudah dilengkapi teknologi terkini. Algoritma rumit data mining ditanamkan agar pola-pola tersembunyi dalam transaksi bisa terbaca, seperti tren belanja unit, efisiensi penggunaan anggaran, hingga potensi pemborosan. Kecerdasan buatan disematkan untuk memprediksi kebutuhan sumber daya manusia, bahkan memunculkan rekomendasi penempatan pegawai sesuai kinerja dan kompetensi. Dengan teknologi itu, pimpinan cukup menatap dashboard, dan seluruh organisasi seolah membuka dirinya, telanjang tanpa rahasia.

Namun, sayangnya, di lapangan, tidak semua staf merasa demikian. Bagi sebagian dari mereka, ERP itu justru terlihat seperti hutan belantara digital yang membingungkan. Mereka tidak melihat kecanggihan di balik layar, yang mereka lihat hanyalah form panjang yang harus diisi, menu yang rumit, serta proses login yang berulang. Sementara itu, aplikasi sederhana buatan staf kreatif di unit kerja sebelah terasa lebih ringan, instan, dan langsung menyentuh kebutuhan sehari-hari. 

Di balik ruang rapat yang temaram itu, dengan wajah letih dan mata sembab, tim IT tahu betapa rapuhnya harmoni yang mereka perjuangkan, karena di pojok-pojok unit kecil, ada aplikasi liar yang diam-diam tumbuh.

Sang staf kreator aplikasi tadi merasa sistem ERP terlalu rumit, terlalu banyak klik, terlalu lama menunggu. Maka ia lebih memilih jalannya sendiri. Apa yang terjadi? Fenomena inilah yang kini menggerogoti banyak instansi, bahkan perusahaan besar. Sebuah ironi dalam dunia digitalisasi.

Ketika Shadow IT Menyelinap di Sudut Instansi

Fenomena staf yang membangun aplikasi sendiri di luar sistem resmi dikenal sebagai Shadow IT. Istilah ini merujuk pada semua perangkat lunak atau sistem informasi yang digunakan tanpa persetujuan, kontrol, atau integrasi dengan divisi teknologi informasi. Shadow IT sering muncul dari niat baik. Pegawai ingin bekerja lebih cepat, ingin solusi yang praktis, ingin membuktikan diri mampu menyiasati keterbatasan.

Namun niat baik tidak selalu berbuah manis. Aplikasi-aplikasi kecil yang dibangun secara mandiri sering kali hanya memecahkan masalah sesaat. Mereka tidak mengikuti standar keamanan, tidak terintegrasi dengan sistem utama, bahkan kadang menyimpan data di perangkat pribadi tanpa perlindungan yang memadai. Lama-kelamaan, aplikasi semacam ini justru menciptakan silo digitalisasi. Data terpecah-pecah, laporan menjadi berbeda versi, dan pimpinan kebingungan menentukan angka mana yang valid.

Dalam konteks ERP, Shadow IT ibarat jalan tikus di samping jalan tol. ERP dibangun layaknya jalan tol yang megah, berkapasitas besar, mahal, dan terintegrasi. Namun karena masuk ke jalan tol butuh aturan, tiket, dan kesabaran, sebagian pengguna memilih jalan tikus. Mereka merasa lebih cepat, lebih fleksibel, padahal jalan itu sempit, tidak standar, dan ujungnya sering buntu. Akibatnya, lalu lintas organisasi menjadi semrawut.

Fenomena Shadow IT juga memperlambat penerimaan ERP. User acceptance, yang seharusnya diperoleh melalui pelatihan dan adaptasi, malah terganjal karena pegawai merasa ada alternatif lain. ERP pun dipandang sebagai beban, bukan solusi. Investasi besar menjadi kehilangan makna.

Resistensi Perubahan dan Digitalisasi Parsial

Mengapa fenomena ini begitu kuat? Jawabannya terletak pada psikologi perubahan. Resistensi terhadap sistem baru adalah hal lumrah. Pegawai terbiasa dengan cara lama, mereka nyaman dengan rutinitas. Ketika ERP hadir dengan tampilan kompleks, menu panjang, dan aturan ketat, rasa nyaman itu terguncang.

Sebagian pegawai bereaksi dengan menolak secara diam-diam. Mereka memang tidak menyuarakan protes, tetapi mereka mencari jalan alternatif. Jalan itu berupa digitalisasi parsial yang mereka buat sendiri. Inilah yang disebut sebagai Isolated Digitalization atau digitalisasi silo. Unit kerja hanya fokus pada kebutuhannya, tidak peduli dengan ekosistem organisasi.

Akibatnya, lahirlah puluhan aplikasi kecil. Ada aplikasi cuti buatan staf A, aplikasi monitoring keuangan buatan staf B, dan aplikasi inventaris buatan staf C. Semua berdiri sendiri, tidak saling bicara. Ketika pimpinan meminta laporan terpadu, IT harus bekerja ekstra keras untuk menggabungkan data dari berbagai sumber. Hasilnya sering tidak sinkron, menimbulkan ketidakpercayaan pada data.

Di balik itu semua, kita menemukan jurang besar bernama technology misalignment. Strategi organisasi jelas menginginkan integrasi melalui ERP. Namun praktik di lapangan justru menunjukkan perpecahan. Hal ini menunjukkan lemahnya tata kelola TI. Tanpa governance yang kuat, digitalisasi akan tumbuh liar, seperti rumput yang menutupi taman yang seharusnya indah.

Jalan Keluar dari Bayang-Bayang

Apa yang bisa dilakukan instansi untuk mengatasi fenomena ini? Pertama, harus ada pemahaman bahwa teknologi bukan hanya soal perangkat lunak. Teknologi adalah bagian dari transformasi organisasi. Karena itu, manajemen perubahan menjadi kunci. Sosialisasi, pelatihan, bahkan pendekatan persuasif perlu dilakukan agar pegawai merasa memiliki ERP, bukan sekadar dipaksa menggunakannya.

Kedua, governance harus ditegakkan. Instansi perlu memiliki kebijakan yang jelas, bahwa semua aplikasi baru harus sesuai dengan arsitektur enterprise yang telah ditetapkan. Framework seperti TOGAF , Zachman dan lainnya dapat menjadi acuan. Dengan begitu, setiap inovasi pegawai dapat diarahkan agar tetap selaras dengan strategi besar.

Ketiga, unit IT harus lebih adaptif. Tidak semua aplikasi kecil harus dimatikan. Jika ada inovasi dari staf yang bermanfaat, mengapa tidak diintegrasikan ke ERP melalui API? Dengan pendekatan terbuka, kreativitas pegawai tetap dihargai, namun tidak sampai merusak integrasi.

Keempat, quick wins harus segera diwujudkan. Modul-modul ERP yang cepat memberi manfaat nyata perlu diprioritaskan. Jika pegawai melihat ada kemudahan dan hasil konkret, mereka akan lebih cepat menerima. Pada titik ini, acceptance tidak lagi dipaksa, melainkan tumbuh alami.

Di ruang kerjanya yang sederhana, staf itu kini menatap layar ERP. Awalnya ia enggan, namun setelah menyaksikan laporan keuangan keluar otomatis tanpa perlu input ulang, ia terdiam lama. Ingatannya melayang pada aplikasi kecil yang dulu ia banggakan, yang kini terasa kerdil di hadapan sistem besar yang mampu memayungi seluruh organisasi. Saat itu ia merasa seperti keluar dari goa sempit dan hutan belantara ide-idenya sendiri, lalu menemukan jalan lapang yang jauh lebih terang. Perlahan, ia mulai menerima.

Begitulah jalan digitalisasi. Tidak selalu mulus, seringkali penuh liku dan perlawanan. Namun jika dikelola dengan bijak, semua jalan tikus akan bermuara ke jalan tol besar yang membawa organisasi menuju efisiensi dan integrasi. ERP bukan sekadar perangkat lunak, ia adalah cermin tekad sebuah institusi untuk berjalan serempak dalam irama perubahan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun