Mohon tunggu...
aldis
aldis Mohon Tunggu... Arsitektur Enterprise

Arsitektur Enterprise, Transformasi Digital, Travelling,

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Luka Tersembunyi Transformasi Digital : Shadow IT dan Sindrom Not Invented Here

20 September 2025   08:13 Diperbarui: 20 September 2025   10:08 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Di pojok ruangan unit kerja kecil yang penuh map kusam dan tumpukan formulir, seorang staf lulusan S1 komputer mendesah panjang. Suara printer berdengung, notifikasi whatsapp dan email masuk silih berganti, sementara laporan harus segera sampai di meja atasan.
Sore itu, dengan secangkir kopi dingin yang belum sempat disentuh, ia membuka laptop tuanya. “Harus ada cara lain,” gumamnya. Dari Google, ia menyalin potongan skrip open source, memodifikasi baris demi baris, bahkan sesekali mendownload skrip bajakan yang bertebaran di forum gelap. Beberapa jam kemudian, lahirlah sebuah aplikasi mini. Sederhana, seadanya, tapi cukup untuk mengotomasi pencatatan yang selama ini menyita waktu. Keesokan harinya, dengan wajah penuh kebanggaan, ia menyerahkan aplikasi itu ke rekan-rekannya. “Lebih cepat dan lebih mudah,” katanya, tanpa sadar bahwa apa yang ia banggakan bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar—dan lebih berisiko. Shadow IT yang lahir dari semangat individual.

Meskipun  bukan bagian dari unit teknologi informasi, dalam dirinya bekerja dorongan yang dikenal dalam psikologi sebagai Self-Determination Theory, yakni kebutuhan untuk merasakan otonomi dan kompetensi. Ia merasa lebih puas mencipta solusinya sendiri ketimbang sekadar memakai sistem besar yang rumit. Mungkin juga, pengaruh sindrom yang kerap dialami para teknisi, yaitu Not Invented Here, kecenderungan menolak solusi dari luar hanya karena bukan hasil karya sendiri. Dengan membuat aplikasi, ia merasa memiliki psychological ownership, seakan-akan sistem kecil itu adalah anak kandung digital yang lebih mudah ia rawat daripada ERP besar yang dingin dan asing.

Belakangan, ada sesuatu yang semakin menggoda dirinya. Setiap kali ia berhasil membuat aplikasi kecil untuk keperluan unit, atasannya memberikan apresiasi, kadang berupa uang tambahan, kadang hanya lewat proposal kegiatan yang disetujui dengan mudah, kadang perjalan dinas keluar kota. Bagi staf ini, hadiah itu seperti pengakuan atas kecerdasannya, semacam validasi bahwa jalannya benar. Ia semakin rajin membuat aplikasi, semakin bersemangat menuliskan baris-baris kode, walau sekadar potongan sederhana.

Meskipun kelak , imbalan kecil itu tak sebanding dengan kerugian besar yang ditanggung organisasi. 

Aplikasi-aplikasi yang ia bangun memang tampak praktis, tetapi tidak terintegrasi dengan sistem utama. Data yang masuk ke aplikasi buatan sendiri tidak pernah tersambung ke ERP yang megah. Lama-kelamaan, laporan resmi berbeda dengan laporan di unit. Angka-angka menjadi ganda, tumpang tindih, dan membingungkan. Atasan mungkin senang dalam jangka pendek, tapi tanpa sadar justru menanam benih masalah jangka panjang bagi instansi.

Sementara itu, di ruang rapat ber-AC yang dinginnya sering tak mampu mengusir rasa lelah, tim teknologi informasi tengah berjibaku. Bertahun-tahun mereka bekerja bersama konsultan, software house, dan pimpinan instansi. Sistem ERP yang megah telah dibangun dan diimplementasikan dengan biaya tak sedikit. Semua modul, mulai dari keuangan, sumber daya manusia, hingga logistik, dirancang untuk saling terhubung dalam satu ekosistem raksasa. Mereka membayangkan data mengalir mulus, laporan strategis keluar otomatis, dan pimpinan dapat mengambil keputusan berdasarkan angka yang valid.

Tidak berhenti di sana, ERP ini sudah dilengkapi teknologi terkini. Algoritma rumit data mining ditanamkan agar pola-pola tersembunyi dalam transaksi bisa terbaca, seperti tren belanja unit, efisiensi penggunaan anggaran, hingga potensi pemborosan. Kecerdasan buatan disematkan untuk memprediksi kebutuhan sumber daya manusia, bahkan memunculkan rekomendasi penempatan pegawai sesuai kinerja dan kompetensi. Dengan teknologi itu, pimpinan cukup menatap dashboard, dan seluruh organisasi seolah membuka dirinya, telanjang tanpa rahasia.

Namun, sayangnya, di lapangan, tidak semua staf merasa demikian. Bagi sebagian dari mereka, ERP itu justru terlihat seperti hutan belantara digital yang membingungkan. Mereka tidak melihat kecanggihan di balik layar, yang mereka lihat hanyalah form panjang yang harus diisi, menu yang rumit, serta proses login yang berulang. Sementara itu, aplikasi sederhana buatan staf kreatif di unit kerja sebelah terasa lebih ringan, instan, dan langsung menyentuh kebutuhan sehari-hari. 

Di balik ruang rapat yang temaram itu, dengan wajah letih dan mata sembab, tim IT tahu betapa rapuhnya harmoni yang mereka perjuangkan, karena di pojok-pojok unit kecil, ada aplikasi liar yang diam-diam tumbuh.

Sang staf kreator aplikasi tadi merasa sistem ERP terlalu rumit, terlalu banyak klik, terlalu lama menunggu. Maka ia lebih memilih jalannya sendiri. Apa yang terjadi? Fenomena inilah yang kini menggerogoti banyak instansi, bahkan perusahaan besar. Sebuah ironi dalam dunia digitalisasi.

Ketika Shadow IT Menyelinap di Sudut Instansi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun