Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah pemilih kita memilih tokoh berdasarkan kenyataan, atau berdasarkan mitos yang telah dibangun sedemikian rupa oleh teknologi?
Pemilih muda adalah kelompok yang paling rentan di sini. Mereka lahir di era internet, tapi tidak selalu dibekali kemampuan untuk menilai kredibilitas informasi. Banyak yang mengira bahwa jumlah like adalah tanda kebenaran, atau bahwa video yang viral pasti mewakili kenyataan. Padahal, seperti pepatah lama mengatakan, “tidak semua yang berkilau adalah emas.”
Menghadapi situasi ini, kita memerlukan lebih dari sekadar nasihat untuk “hati-hati di internet.” Kita memerlukan ekosistem politik yang lebih transparan. Misalnya, aturan yang mewajibkan kampanye digital untuk mengungkapkan sumber dan metode penyebaran kontennya. Kita memerlukan regulasi yang membatasi penggunaan data pribadi untuk manipulasi politik. Dan yang tak kalah penting, kita harus membekali pemilih muda dengan literasi kritis—kemampuan untuk bertanya sebelum percaya, untuk mencari bukti sebelum mengambil sikap.
Namun, semua itu hanya akan berhasil jika kita, sebagai masyarakat, mengakui bahwa mitos politik di era digital bukan sekadar kemungkinan, tetapi kenyataan yang sedang berlangsung. Kita tidak sedang berbicara tentang teori konspirasi, melainkan tentang praktik yang sudah menjadi bagian dari strategi kampanye modern.
Kita perlu menerima kenyataan ini tanpa menyerah pada pesimisme. Teknologi bukan musuh demokrasi—yang menjadi ancaman adalah cara kita menggunakannya. Jika digunakan dengan etika, teknologi bisa menjadi alat untuk memperluas partisipasi politik, membuka diskusi, dan menghadirkan transparansi yang lebih besar. Tapi jika digunakan untuk membangun mitos yang memanipulasi persepsi, ia bisa menjadi racun yang merusak kepercayaan publik.
Suatu hari, mungkin, kita akan sampai pada titik di mana pemilih muda tidak lagi hanya menjadi target pasif kampanye digital, tetapi menjadi pengawas yang aktif. Mereka akan belajar untuk menelusuri sumber informasi, memeriksa jejak digital tokoh yang mereka dukung, dan menolak narasi yang hanya bermain di ranah emosi tanpa dasar fakta.
Sampai saat itu tiba, kita masih harus berjalan di lorong yang panjang—lorong tempat cahaya fakta dan bayangan mitos saling berebut ruang. Dan di lorong itu, suara kita sebagai warga negara adalah satu-satunya kompas yang bisa memastikan bahwa demokrasi tetap menuju arah yang benar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI