Mohon tunggu...
aldis
aldis Mohon Tunggu... Arsitektur Enterprise

Arsitektur Enterprise, Transformasi Digital, Travelling,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teknologi dan Mitos : Ancaman Citra Untuk Pemilih Muda

10 Agustus 2025   20:02 Diperbarui: 10 Agustus 2025   22:40 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di sebuah kamar kos yang sempit, diseberang asrama  kampus milik pemerintah  , seorang mahasiswa semester akhir memandangi layar ponselnya. Ia menggulirkan jempolnya dengan cepat, seperti membalik halaman buku yang tak habis-habis, kecuali bahwa yang ia baca bukan buku, melainkan potongan-potongan narasi tentang seorang tokoh politik yang sedang naik daun.

Foto sang tokoh terpampang gagah, tersenyum di antara anak-anak sekolah, membagikan buku dan pensil. Di video lain, ia menanam pohon, mengusap kepala kucing liar, dan berjalan tanpa alas kaki di desa terpencil. Lagu yang mengiringinya sendu, liriknya seperti dirancang untuk menyentuh hati siapa pun yang menontonnya.

Mahasiswa itu tersenyum, hatinya tergerak. “Ini orang baik sekali,” gumamnya. Ia tidak tahu bahwa sebagian besar konten yang ia tonton telah melewati serangkaian penyuntingan, filter, dan algoritma yang bekerja tanpa lelah di balik layar. Ia tak pernah menyadari bahwa setiap tayangan itu muncul bukan karena kebetulan, melainkan karena mesin pintar telah mempelajari kebiasaannya—artikel apa yang ia baca, akun siapa yang ia ikuti, video mana yang ia tonton sampai selesai.

Inilah wajah politik di era digital: di mana kampanye tidak lagi terbatas pada panggung terbuka, baliho, atau iklan di televisi. Kini, pertarungan citra berlangsung di layar-layar kecil yang kita genggam setiap saat. Layar itu begitu pribadi, begitu dekat, sehingga pesan politik yang menyusup ke dalamnya pun terasa seperti bisikan dari teman lama.

Di masa lalu, membangun mitos tentang seorang tokoh memerlukan waktu bertahun-tahun. Butuh cerita turun-temurun, pemberitaan media, dan pengulangan di banyak forum publik. Tapi sekarang, dengan teknologi digital, mitos bisa dibangun dalam hitungan minggu—atau bahkan hari—dengan menggabungkan potongan gambar, kata-kata manis, dan sedikit sentuhan musik yang tepat.

Masalahnya, mitos yang lahir dari teknologi ini sering kali mengaburkan batas antara kenyataan dan rekaan. Pemilih muda, yang sebagian besar hidupnya berada di ruang digital, menjadi sasaran empuk. Mereka cepat terhubung, tapi juga cepat terpengaruh. Di antara tumpukan informasi yang berseliweran, sulit sekali memisahkan mana yang fakta dan mana yang ilusi.

Di sinilah literasi digital bukan lagi sekadar keterampilan tambahan. Ia adalah pelindung, semacam imunisasi terhadap virus informasi yang menyesatkan. Tanpa itu, kita mudah sekali percaya, apalagi ketika pesan yang disampaikan begitu sesuai dengan apa yang ingin kita dengar.

Antara Mesin, Mitos, dan Masa Depan Demokrasi

Mesin pintar yang kita kenal dengan nama algoritma itu bekerja tanpa lelah, siang dan malam, mengamati perilaku kita di dunia maya. Ia tahu jam berapa kita paling sering membuka ponsel, topik apa yang membuat kita bertahan menonton, bahkan jenis komentar yang kita sukai. Dari semua itu, algoritma membangun peta minat dan emosi kita, lalu menyajikan konten yang paling mungkin membuat kita tersenyum, terharu, atau marah.

Bagi dunia bisnis, ini adalah strategi pemasaran yang cerdas. Tapi bagi dunia politik, ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memungkinkan tokoh politik menjangkau pemilih muda dengan pesan yang relevan. Di sisi lain, ia memberi peluang besar untuk menciptakan mitos yang terlalu sempurna—sebuah citra yang dirancang lebih oleh kecanggihan teknologi daripada oleh kenyataan di lapangan.

Kita tahu, tak ada manusia yang sempurna. Namun di media sosial, tokoh politik bisa tampak nyaris tanpa cela. Wajah selalu tersenyum, tutur kata selalu bijak, tindakan selalu mulia. Jika ada kekeliruan, itu cepat terkubur di bawah banjir konten positif yang diunggah setiap hari. Seperti cahaya lampu panggung yang menghapus bayangan di belakangnya.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah pemilih kita memilih tokoh berdasarkan kenyataan, atau berdasarkan mitos yang telah dibangun sedemikian rupa oleh teknologi?

Pemilih muda adalah kelompok yang paling rentan di sini. Mereka lahir di era internet, tapi tidak selalu dibekali kemampuan untuk menilai kredibilitas informasi. Banyak yang mengira bahwa jumlah like adalah tanda kebenaran, atau bahwa video yang viral pasti mewakili kenyataan. Padahal, seperti pepatah lama mengatakan, “tidak semua yang berkilau adalah emas.”

Menghadapi situasi ini, kita memerlukan lebih dari sekadar nasihat untuk “hati-hati di internet.” Kita memerlukan ekosistem politik yang lebih transparan. Misalnya, aturan yang mewajibkan kampanye digital untuk mengungkapkan sumber dan metode penyebaran kontennya. Kita memerlukan regulasi yang membatasi penggunaan data pribadi untuk manipulasi politik. Dan yang tak kalah penting, kita harus membekali pemilih muda dengan literasi kritis—kemampuan untuk bertanya sebelum percaya, untuk mencari bukti sebelum mengambil sikap.

Namun, semua itu hanya akan berhasil jika kita, sebagai masyarakat, mengakui bahwa mitos politik di era digital bukan sekadar kemungkinan, tetapi kenyataan yang sedang berlangsung. Kita tidak sedang berbicara tentang teori konspirasi, melainkan tentang praktik yang sudah menjadi bagian dari strategi kampanye modern.

Kita perlu menerima kenyataan ini tanpa menyerah pada pesimisme. Teknologi bukan musuh demokrasi—yang menjadi ancaman adalah cara kita menggunakannya. Jika digunakan dengan etika, teknologi bisa menjadi alat untuk memperluas partisipasi politik, membuka diskusi, dan menghadirkan transparansi yang lebih besar. Tapi jika digunakan untuk membangun mitos yang memanipulasi persepsi, ia bisa menjadi racun yang merusak kepercayaan publik.

Suatu hari, mungkin, kita akan sampai pada titik di mana pemilih muda tidak lagi hanya menjadi target pasif kampanye digital, tetapi menjadi pengawas yang aktif. Mereka akan belajar untuk menelusuri sumber informasi, memeriksa jejak digital tokoh yang mereka dukung, dan menolak narasi yang hanya bermain di ranah emosi tanpa dasar fakta.

Sampai saat itu tiba, kita masih harus berjalan di lorong yang panjang—lorong tempat cahaya fakta dan bayangan mitos saling berebut ruang. Dan di lorong itu, suara kita sebagai warga negara adalah satu-satunya kompas yang bisa memastikan bahwa demokrasi tetap menuju arah yang benar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun