Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengulik Konsep Menata Jakarta Tanpa Air Mata ala Sandiaga Uno

25 Oktober 2016   11:05 Diperbarui: 25 Oktober 2016   15:29 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sandiaga Uno dan Anies Baswedan. (tjakartapost.com)

Beberapa waktu lalu bakal calon wakil gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno (SU) menyampaikan janjinya bila Anies Baswedan dan dirinya terpilih sebagai Gubernur dan Wagub DKI Jakarta 2017-2022, ia akan menata Jakarta tanpa air mata. Kemarin, di acara Sapa Indonesia (Kompas.TV) kembali SU menyampaikan gagasannya kelak akan menata Jakarta tanpa air mata, membangun tanpa ada duka.

Konsep menata Jakarta tanpa air mata diambil karena keprihatinannya terhadap berbagai kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dinilainya kurang tepat. Kebijakan yang berkaitan dengan warga miskin seperti penataan permukiman, pengusuran warga di wilayah bantaran sungai, penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) masih kental dengan aroma kekerasan yang ujung-ujungnya membuat warga menderita.

Ahok dinilai tidak manusiawi dalam penataan permukiman karena dilakukan tanpa mendengarkan aspirasi warga, hanya berdasarkan pertimbangan sepihak dari pemerintah. Hal itu bisa dilihat dari letak rusunawa yang disediakan sebagai penganti tempat tinggal warga yang permukimannya dirobohkan. Menurut SU, jika Ahok mendengarkan aspirasi warga, letak rusunawa mestinya dekat dengan permukiman warga sebelumnya karena sumber ekonomi warga di sekitar permukiman tersebut. SU juga mencontohkan warga yang biasanya berdagang makanan menjadi kesulitan menjajakan dagangannya karena pindah tempat di rusunawa lantai atas yang akses kepada konsumen susah. Sehingga mereka kesulitan membayar sewa rusun kalau dagangan mereka tidak laku. Demikian juga dengan penataan PKL yang tidak dilakukan dengan partisipatif.

Dari kebijakan tersebut, mengakibatkan kesengsaraan warga dan tentunya hanya menambah penderitaan warga miskin (baca banjir air mata) dan menimbulkan duka berkepanjangan.

Mengulik Konsep Menata Jakarta Tanpa Air Mata

Konsep menata Jakarta tanpa air mata, disebutkan kelak SU akan menata Jakarta dengan memperbaiki pendekatan, mendengarkan aspirasi warga. Penataan Jakarta akan dilakukan secara partisipatif. Penataan permukiman akan dilakukan dengan memidahkan warga ke rusunawa yang terdekat dengan permukiman warga sebelumnya sehingga sumber ekonomi warga miskin tidak hilang. Jika di tempat terdekat tidak ada lahan milik Pemprov, Pemprov akan membeli lahan yang diperuntukkan untuk rusunawa tersebut.

SU kelak juga akan membuat entrepreuneurship-entrepreuneurship center di setiap kecamatan dan nanti akan ada pelatihan-pelatihan. Sehingga warga dilatih mempunyai keterampilan, didorong untuk mandiri dan kelak bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. SU secara garis besar ingin menerapkan konsep yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menjabat walikota Solo saat menata PKL tanpa kekerasan dengan pendekatan nguwongke wong (memanusiakan manusia).

Kira-kira itulah yang saya pahami dari konsep menata Jakarta tanpa air mata dari SU. Menilik konsep yang diusung SU, bagi saya ada hal yang kurang pas.

Pertama, Pemprov DKI Jakarta tidak mungkin menata Jakarta hanya berdasarkan keinginan warga. SU tidak mempertimbangkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK). Aspirasi warga lazimnya sudah terakomodasi dalam RTRW tersebut sehingga peruntukan wilayah, lahan sudah berdasarkan aspirasi dari warga masyarakat. Penataan kota tidak bisa sembarangan hanya berdasarkan keinginan dari sekelompok orang/golongan saja tetapi harus mengacu pada rencana tata ruang yang sudah ada. Jika saja ada perubahan karena sudah tidak sesuai dengan kondisi kekinian dilakukan dengan mekanisme yang benar dengan revisi rencana tata ruang. Sehingga SU pun jika kelak menjadi wabug DKI tidak bisa sembarangan memilih lokasi untuk pembangunan rusunawa.

Kedua, pembelian lahan baru juga dipastikan dengan banyak pertimbangan. Misalnya apakah letak lahan yang akan dibeli tersebut sudah sesuai dengan peruntukannya (untuk rusunawa) atau tidak. Kemudian apakah Pemprov mempunyai lahan milik pemrov yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan rusunawa atau tidak. Jika ada lahan milik Pemprov yang bisa dimanfaatkan dan lokasi sesuai dengan peruntukannya, maka lahan tersebutlah yang mestinya dioptimalkan. Jadi bukan malah membeli lahan baru.

Ketiga, kebijakan yang dilakukan pemprov sudah pasti tidak akan bisa memuaskan 100% semua pihak. Bagi warga yang menyadari telah menempati lahan yang tidak tepat (mengakibatkan banjir, dll) secara sukarela mau dipindah sementara warga yang merasa sudah mapan, nyaman sulit untuk menerima kebijakan penataan tersebut. Tugas Pemprov untuk memberikan pengertian, memfasilitasi, melayani warga tetapi tidak mengiyakan semua keinginan warga, karena ada aturan, kebijakan yang harus juga ditegakkan. SU kelak jika terpilih menjadi wagub pastilah juga dituntut menegakkan aturan dan kebijakan, tidak bisa mengambil keputusan sepihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun