Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suara Lorong yang Tak Pernah Diliput Televisi

8 Agustus 2025   00:39 Diperbarui: 8 Agustus 2025   00:39 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Allef Vinicius di Unsplash 

 Potret kehidupan pemulung, anak jalanan, dan buruh harian yang tak pernah muncul di media, namun menyimpan cerita tentang ketahanan dan kemanusiaan.

Tidak semua yang hidup di kota mendapatkan ruang untuk bersuara. Di antara gedung tinggi dan jalanan macet, ada lorong-lorong sunyi yang menyimpan kehidupan. Di sana, ada manusia yang tidak pernah dipanggil kamera, tidak pernah masuk berita, tetapi justru menggenggam kenyataan paling telanjang tentang hidup. Ini adalah kisah tentang mereka. Bukan untuk mengasihani, tetapi untuk mengingatkan kita semua bahwa dunia tak hanya milik mereka yang terdengar.

Lorong itu sempit. Asap knalpot menempel di dinding, bau tanah bercampur sisa nasi basi. Di sudutnya, seorang perempuan duduk bersandar pada gerobak dorong. Tangannya kapalan dan tubuhnya kurus digerogoti waktu. Ia tidak menangis, tidak juga meminta. Hanya diam. Seperti lorong itu sendiri yang sunyi tetapi berbicara lewat diam yang panjang.

Namanya Mbok Sarmi. Sudah dua puluh tahun ia memulung di kawasan padat ibu kota. Setiap pagi, sebelum ayam sempat bernyanyi, ia sudah menyusuri gang demi gang mencari botol plastik, kertas kardus, kaleng penyok, atau segala sesuatu yang dianggap tak berguna oleh banyak orang. Di tangannya, sampah menjadi sumber hidup. Dan hidupnya sendiri adalah jejak yang tidak pernah masuk siaran berita.

Sambil membakar sebatang rokok lintingan, ia berkata lirih, "TV? Saya dulu sering nonton, tapi sekarang udah rusak antenanya. Lagian, nggak ada yang nyeritain orang kayak saya." Ia tertawa pelan, tawanya menggema aneh di lorong yang dipenuhi bau apek dan suara pengamen kecil dari ujung jalan.

Di tengah kota yang sibuk mengabarkan sensasi politik dan selebritas yang viral, ada suara-suara yang tidak pernah dipanggil. Mereka bukan trending topic. Mereka tidak memiliki akun media sosial dengan jutaan pengikut. Tidak ada tagar untuk nasib mereka. Padahal mereka ada. Mereka hidup, bernapas, terluka, dan tertawa meski tanpa sorotan kamera.

Aku menuliskan ini saat malam mulai mendingin. Lampu-lampu jalan menyala redup dan samar-samar terlihat pelita dari kejauhan bukit. Kota ini tampak indah dari kejauhan, tetapi bila dilihat lebih dekat, ia penuh lubang. Dan di dalam lubang itu, ada manusia-manusia yang tidak pernah muncul di layar kaca. Mereka adalah orang-orang yang tersembunyi dalam angka statistik dan tidak pernah diundang dalam talk show, tetapi menanggung beban hidup paling nyata.

Anak-anak jalanan, misalnya, tidak menari-nari seperti yang viral di TikTok, tetapi wajah mereka menyimpan cerita panjang tentang rumah yang retak, perut yang kosong, dan tangan yang belum sempat menggenggam pensil sekolah. Di perempatan jalan, mereka mengetuk kaca mobil dengan harapan kecil. Seribu rupiah cukup untuk sepotong roti.

Sementara itu, para buruh harian lepas bangun sebelum fajar. Mereka berbaris di pinggir jalan menunggu ditawari kerja oleh truk proyek. Hari ini bisa saja mereka bekerja, tetapi besok belum tentu. Tidak ada asuransi, tidak ada jaminan. Hanya otot, tulang, dan doa yang mereka bawa. Namun tetap saja, tidak ada satu pun wartawan yang duduk bersama mereka.

Aku teringat satu peristiwa. Waktu itu, sebuah perkelahian antarwarga terjadi di gang kecil. Salah satu anak jalanan terkena lemparan batu. Tidak ada media yang datang. Namun ketika video insiden itu diunggah seseorang ke media sosial dan mulai viral, barulah pejabat setempat datang meninjau. Mereka membawa kamera, membawa wartawan, dan membawa perhatian yang terlalu terlambat. Seolah-olah hanya suara yang ramai di jagat maya yang layak diselamatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun