Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suara Lorong yang Tak Pernah Diliput Televisi

8 Agustus 2025   00:39 Diperbarui: 8 Agustus 2025   00:39 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Allef Vinicius di Unsplash 

Pertanyaannya kemudian muncul. Siapa yang memutuskan bahwa suatu berita itu penting? Mengapa harus viral terlebih dahulu baru dianggap nyata? Apakah hanya yang trending yang patut didengar?

Televisi dulunya adalah jendela dunia. Pemancar-pemancarnya menjangkau pelosok negeri dan menghubungkan desa dengan kota serta rakyat dengan negara. Namun kini, ia perlahan memudar. Netizenlah yang kini menjadi penentu. Mereka yang menentukan mana yang pantas muncul dan mana yang tetap dibiarkan tenggelam dalam lorong gelap realitas.

Di balik semua itu, masih ada pemirsa setia. Mereka adalah orang-orang tua di kampung yang menonton sinetron sambil menanak nasi dan warung kopi kecil yang memutar berita pagi sebagai latar musik dari obrolan tukang ojek. Mereka masih percaya bahwa televisi bisa menunjukkan dunia. Sayangnya, dunia yang ditunjukkan tak pernah menyapa Mbok Sarmi dan teman-temannya.

Bukan karena mereka tidak ada, melainkan karena mereka terlalu diam. Dan dalam dunia yang bising ini, diam dianggap senyap. Padahal, bukan berarti tidak penting.

Tulisan ini bukan tentang menyelamatkan mereka. Ini juga bukan tentang memposisikan mereka sebagai korban. Tulisan ini adalah tentang mendengar. Tentang keberanian kita untuk berhenti sejenak dan bertanya: apakah kita benar-benar melihat mereka, atau hanya melewatinya setiap hari?

Aku percaya bahwa setiap manusia memiliki beban. Tetapi dari sudut mana mereka memandang beban itu yang membuat semua berbeda. Terkadang, jalan keluar sudah ada di depan mata. Namun kabut kenyataan membuatnya tidak terlihat. Selama itu pula, suara-suara dari lorong akan terus tenggelam, menunggu seseorang cukup tenang untuk mendengarnya.

Jika televisi tidak menyorot mereka, mungkin kita bisa mulai menuliskan cerita mereka. Mungkin suara yang tidak pernah dipanggil itu hanya butuh satu telinga yang benar-benar ingin mendengar.

Dan dari lorong yang sunyi itu, pelan-pelan, suara mereka akan menggema. Tidak perlu viral, cukup jujur.

Kita hidup di zaman ketika suara ditentukan oleh seberapa sering ia dibagikan. Namun tidak semua kehidupan bisa dikemas dalam format yang mudah disukai. Ada yang lebih penting dari sekadar viral, yaitu kepekaan. Suara dari lorong-lorong yang tak pernah masuk televisi adalah pengingat bahwa manusia tetaplah manusia, meski tanpa sorotan kamera. Dan mungkin, tugas kita bukanlah menyorot, tetapi mendekat dan mendengar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun