Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Antara Napas Ada Tuhan Menyapa Kita

30 Mei 2025   19:22 Diperbarui: 30 Mei 2025   19:22 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Langit pagi itu tampak biasa saja. Tidak kelabu, tapi juga bukan biru cerah. Seperti seseorang yang hendak menangis namun menahan, atau mungkin sudah terlalu sering menangis hingga lupa caranya. Aku berdiri di depan makam Ibu. Batu nisannya dingin, tapi bukan itu yang membuat tubuhku menggigil. Yang menusuk adalah kesadaran: aku datang terlalu terlambat.

Bulan-bulan terakhir hidupnya kulewati dengan mencari Tuhan di tempat-tempat jauh. Seminar lintas negara, meditasi sunyi, kitab-kitab filsafat tebal yang menjanjikan pencerahan. Sementara itu, Ibu menunggu dalam sepi---dalam batuk-batuk kecil yang tak pernah ia sebutkan, dalam doa-doa lirih yang tak pernah menuntut anaknya kembali.

Kini aku hanya bisa memeluk tanah. Tuhan yang kucari-cari dengan segala kerumitan, ternyata pernah hadir dalam setiap tanya Ibu lewat telepon, "Kamu sudah makan, Nak?" Dan aku---dengan kesombongan ingin mengenal Tuhan secara 'lebih tinggi'---menjawabnya sekadar agar percakapan segera berakhir.

Setelah pemakamannya, hari-hariku seperti kabut yang tak kunjung terurai. Aku membuat dua cangkir teh setiap pagi, satu untukku, satu untuk yang tak akan kembali. Aku membaca buku seperti robot, berjalan seperti bayangan. Hingga suatu sore, saat membereskan lemari, aku menemukan catatan kecil Ibu terselip dalam Al-Qur'an tuanya. Tulisan tangannya goyah namun tegas:

"Jika kamu mencari Tuhan terlalu jauh, mungkin kamu melewatkan tangan yang tadi menyentuh pundakmu."

Kalimat itu merobek diamku. Aku membacanya berulang-ulang seperti menelan kenyataan yang telah lama kutolak. Ternyata, Tuhan tak pernah absen. Akulah yang menjauh.

Selama ini aku meletakkan Tuhan di langit tinggi, berharap Ia datang dalam cahaya menyilaukan atau gumuruh langit. Padahal, Ia hadir dalam tangan Ibu yang menyuapkan nasi, dalam waktu yang ia luangkan untuk menungguku pulang. Kesadaran itu mengguncang---bukan karena kehilangan, tapi karena malu. Tuhan bukan sesuatu yang harus dicapai, melainkan disadari.

Aku mulai berjalan setiap pagi ke taman kota. Bukan untuk olahraga, tapi untuk melatih mata dan hati. Aku belajar melihat: anak kecil yang memeluk kucing liar, pasangan tua yang saling menyuapi dari plastik nasi bungkus, pemulung yang tersenyum saat diberi roti sisa. Hal-hal biasa, namun mengandung keajaiban yang tak pernah disebut di buku-buku spiritual yang kubaca.

Aku mulai paham, Tuhan tidak bersembunyi. Ia menampakkan diri dalam wujud-wujud sederhana yang selama ini kupandang sebelah mata. Dan dalam kesederhanaan itu, aku merasa tenang---perasaan yang dulu kucari lewat perjalanan jauh, kini hadir hanya dengan duduk dan memperhatikan.

Suatu malam, teleponku berdering. Faris, sahabat lama yang dulu kerap menjadi lawan diskusiku tentang spiritualitas. Suaranya pelan, seperti orang yang sedang menyeberang kabut dalam dirinya.

"Aku merasa kehilangan arah," katanya. "Selama ini aku cari Tuhan di buku, di tempat suci, di ritual. Tapi sekarang semua itu terasa kosong."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun