Pikiran adalah alat dalam menjalani hidup ini. Namun, seperti alat yang terus digunakan tanpa jeda, ia bisa berubah menjadi beban. Ia bekerja bahkan saat kita ingin beristirahat. Ia tak mengenal waktu hening.
Di dalam kepala kita, pikiran bagaikan lalu lintas padat yang tak pernah berhenti. Melompat ke masa lalu. Berlari ke masa depan. Jarang sekali ia diam di tempat yang seharusnya: di sini, saat ini. Dan itulah awal dari keriuhan yang sering kita alami, tanpa disadari.
Kita menyebutnya overthinking. Tapi istilah itu kadang terlalu menyederhanakan. Sebab yang sebenarnya terjadi lebih rumit: sebuah keributan di dalam kepala, seperti ruang rapat yang isinya tidak sepakat. Satu pikiran ingin menuntaskan. Yang lain menunda. Satu merasa yakin. Yang lain ragu. Kita duduk diam, tapi di dalam, ada kejar-kejaran tanpa henti.
Mengapa hal ini membuat kita kelelahan?
Karena pikiran punya satu sifat utama: ia tidak suka diam. Ia terbentuk dari pengalaman, ingatan, ketakutan, dan keinginan. Semua saling bertumpuk. Ketika tubuh mencoba tenang, pikiran justru sibuk menyusun skenario. Mencocokkan kemungkinan. Menghitung risiko. Ia seperti mesin analisis yang tak pernah berhenti bekerja.
Ironisnya, semakin banyak kemungkinan yang kita lihat, semakin sulit keputusan dibuat. Alih-alih memberi kejelasan, pikiran justru menghadirkan kabut. Bayangkan seseorang duduk menghadapi masalah. Sepuluh solusi muncul hampir bersamaan. Tapi tidak satu pun ia eksekusi. Ia terjebak dalam lalu lintas pikirannya sendiri. Dan yang tersisa hanyalah kelelahan.
Dalam keadaan seperti itu, kita sering merasa gagal. Padahal bukan karena kita tidak tahu harus berbuat apa. Tapi karena kita terlalu banyak "tahu"---terlalu banyak pilihan, terlalu banyak pertimbangan. Pikiran menjadi seperti cermin yang retak. Ia memantulkan bayangan masa lalu yang sudah lewat, dan menciptakan gambaran masa depan yang belum tentu terjadi. Tapi ia gagal menunjukkan kejelasan saat ini.
Akibatnya, kita hidup dalam proyeksi, bukan dalam kenyataan.
Di sinilah letak persoalan yang sering terabaikan: bukan pikirannya yang salah, tetapi keterikatan kita padanya. Kita terlalu cepat mempercayai setiap yang muncul di kepala. Kalimat seperti "aku tidak cukup baik" datang, dan kita langsung mengamininya. Padahal itu hanya suara --- bukan kebenaran mutlak. Ia datang, dan bisa pergi.
Yang dibutuhkan bukan mengusir pikiran. Tapi memberi ruang. Seperti awan yang dibiarkan bergerak di langit. Kita hanya mengamati. Tanpa perlu berlarut di dalamnya.
Namun, memberi ruang bukan hal yang otomatis. Kita terbiasa hidup cepat. Memberi respon tanpa jeda. Mencari solusi sebelum benar-benar memahami persoalan. Padahal tidak semua pikiran perlu ditanggapi. Kadang, yang kita perlukan justru keberanian untuk berhenti sejenak. Mengambil napas. Dan menanyakan satu hal sederhana: "Apakah aku perlu mengikuti pikiran ini sekarang?"