Mohon tunggu...
Subagio Waluyo
Subagio Waluyo Mohon Tunggu... Dosen - Taruna

Subagio S Waluyo, Lahir di Jakarta, 5 Maret 1958, sudah berkeluarga (1 istri, 5 anak, dan cucu), Pekerjaan sebagai dosen di FIA Unkris (1988 sampai sekarang), Pendidikan Terakhir S2 Administrasi Publik, Alamat Rumah Jalan wibawa Mukti IV/22, RT003/RW017, Jatiasih, Kota Bekasi 17422

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Frasa "Bagaimana Nanti" Versus "Nanti Bagaimana"

11 Oktober 2019   10:36 Diperbarui: 12 Oktober 2019   13:56 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
olahan gambar pribadi penulis

Karena itu, lanjutnya, baik-buruknya perilaku dan cara hidup dinilai atas dasar praktis semata (Isme-Isme dari A Sampai Z, 2001:189-190).

Dengan melihat pada uraian itu bisa disimpulkan bahwa orang yang mengatakan "bagaimana nanti (saja)" adalah orang yang berpikir praktis, orang yang tidak mau disulitkan dengan resiko-resiko yang akan muncul di kemudian hari, dan/atau orang yang tergolong dalam EGP (baca: Emangnya Gue Pikiran).

Orang yang termasuk dalam golongan ini adalah orang yang kerjakan dulu apa saja yang bisa kita kerjakan (tidak perlu memandang yang dikerjakannya baik atau buruk, benar atau salah) dan tentang akibatnya tidak pernah dipikirkan.

Apakah tidak ada efek sampingan dari frase "bagaimana nanti (saja)"? Kalau mau ditelusuri, jelas pasti ada.

Di dunia politik orang yang berkampanye dengan cara-cara yang ilegal, misalnya, politik bagi-bagi uang, sudah bisa dipastikan manusia jenis ini adalah manusia yang tergolong frase "bagaimana nanti (saja)".

Efek sampingannya, di parlemen diisi wakil-wakil rakyat yang kualitasnya diragukan. 

Anggota dewan seperti ini begitu memasuki ruang parlemen pertama kali yang muncul di benaknya adalah bagaimana mengembalikan uang yang telah dikeluarkan selama kampanye dulu?

Di dunia bisnis orang yang ketika berbisnis melakukan praktik-praktik ilegal, misalnya, melakukan manifulasi data agar diperoleh keuntungan yang besar, sudah bisa dipastikan jenis manusia seperti ini adalah manusia yang tergolong frasa "bagaimana nanti (saja)".

Efeknya, kalau bisnisnya berkaitan dengan pemerintahan, tidak mustahil terjadi praktek-praktek yang sudah kita kenal, yaitu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sehingga menghancurkan pembangunan ekonomi di negara ini dan semakin terbentang jurang pemisah antara kaya dan miskin.

Di dunia pendidikan guru-guru yang memaksa orang tua siswanya agar mengeluarkan sejumlah uang untuk acara perpisahan kelas (entah SD kelas VI, SMP kelas IX, atau SLTA kelas XII), ketika orang tua siswa-siswanya meminta tanda bukti pembayaran dengan berbagai alasan pihak sekolah tidak akan mau mengeluarkannya, sudah bisa dipastikan jenis manusia seperti yang tergolong frase "bagaimana nanti (saja)". 

Kalau perilaku anak didik, bahkan perilaku bangsa ini membuat Taufik Ismail Sang Penyair Angkatan 66 terpaksa menulis puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia isinya cenderung sarkasme sangat-sangat wajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun