Mohon tunggu...
Subagio Waluyo
Subagio Waluyo Mohon Tunggu... Dosen - Taruna

Subagio S Waluyo, Lahir di Jakarta, 5 Maret 1958, sudah berkeluarga (1 istri, 5 anak, dan cucu), Pekerjaan sebagai dosen di FIA Unkris (1988 sampai sekarang), Pendidikan Terakhir S2 Administrasi Publik, Alamat Rumah Jalan wibawa Mukti IV/22, RT003/RW017, Jatiasih, Kota Bekasi 17422

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perilaku Bodong

15 Agustus 2019   00:12 Diperbarui: 15 Agustus 2019   00:41 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dari bidang pendidikan saja yang semestinya anak bangsa ini memiliki karakter orang-orang terdidik yang ditandai dengan bangsa yang bermoral baik, ternyata banyak ditemukan degradasi moral sehingga wajar saja jika bangsa ini disebutkan bermoral rendah alias perilaku bodong. Itu baru dari bidang pendidikan belum lagi dari bidang hukum. 

Korupsi, misalnya, sampai sekarang masalah ini boro-boro berkurang, di masa reformasi ini sudah banyak orang tahu korupsi semakin marak di mana-mana. Dengan adanya desentralisasi, korupsi pun terdesentralisasi. Artinya, korupsi bukan lagi terjadi di pusat ketika negara ini selama 32 tahun menerapkan sentralisasi, tetapi berbarengan dengan otonomi daerah pelaku-pelaku korupsi juga terjadi di daerah-daerah. 

Untuk itu, tidaklah aneh kalau menurut Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia pada tahun 2018 tidak banyak mengalami perbaikan dari tahun 2017. Memang, ada kenaikan peringkat, tapi hanya naik satu peringkat dari peringkat 90 ke peringkat 89 menurut Transparency International Indonesia (TII). 

Lucunya lagi, menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarif, mayoritas pelaku korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun masih didominasi oleh aktor politik (https://tirto.id/soal-indeks-persepsi-korupsi-ri-kpk-88-koruptor-aktor-politik). 

Siapa  yang tergolong aktor politik? Siapa lagi kalau bukan anggota dewan yang terhormat, gubernur, walikota, bupati yang dipilih oleh rakyat.

Itu salah satu bukti bahwa korupsi di Indonesia benar-benar telah mewabah. Apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiam diri saja alias melakukan pembiaran terhadap penyakit yang telah mewabah ini? Coba saja buka buku Laporan Tahunan KPK terakhir (2018), di daftar isinya dengan jelas tercantum apa saja yang dilakukan KPK. 

KPK melakukan segala macam cara untuk menjalankan visi dan misinya yang dimulai dari "Keliling Dekati Publik" sampai dengan "Berdayakan Potensi Organisasi". Itu saja belum cukup karena KPK juga bertekad bersama masyarakat untuk melawan dan melaporkan tindak pidana korupsi yang telah mewabah di negara ini. 

Untuk jelasnya, silakan baca buku Laporan Tahunan KPK Tahun 2018. Tetapi, masih ada yang mengganjal di hati ini, mengapa korupsi susah diberantas? Apa karena huruf P di tengah singkatan KPK ada yang harus diganti, yaitu kata `pemberantasan` diganti menjadi `pencegahan` sehingga kepanjangan KPK menjadi Komisi  Pencegahan Korupsi? 

Bukankah perkataan `pencegahan` itu memang lebih egaliter atau populis daripada `pemberantasan`? Dengan kata lain, ungkapan `pencegahan` terdengar lebih halus daripada `pemberantasan` yang terasa kasar. 

Selain itu, dalam melakukan pekerjaan `pencegahan` ada langkah-langkah yang lebih efektif dan efisien ibarat manusia ketika harus berhadapan dengan penyakit yang menyerang dirinya berprinsip lebih baik mencegah daripada mengobatinya. Begitupun dengan korupsi yang telah mewabah daripada dia menjadi virus yang terus memangsa korbannya lebih baik mencegahnya.

Terlepas dari penggantian kata `pemberantasan` dengan `pencegahan` yang pasti ada yang merasa yakin bahwa korupsi tidak akan pernah hilang dari Indonesia. Adalah Adi Nugroho di Bombastis.com menulis lima alasan kalau korupsi tidak akan pernah  hilang dari Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun