Mohon tunggu...
Suaib Napir
Suaib Napir Mohon Tunggu... -

Direktur Mars Institute

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Onani Demokrasi Pilwali Makassar

8 Mei 2018   06:42 Diperbarui: 4 Desember 2018   06:55 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Makassar sedang dalam lomba onani berjamaah dalam ajang yang bernama pemilihan walikota. Kita diajak membayangkan sesuatu yang indah, molek, serta penuh gairah. Mungkin demikianlah rupa bagi analogi janji-janji yang dibangun oleh pencitraan para calon walikota yang banyak. Seolah-olah ketika mereka terpilih, maka Makassar akan berubah menjadi wanita cantik atau lelaki gagah yang membuat semua hasrat libido warga kota bisa terpenuhi karena demokrasi memang bukan hanya perdebatan soal sistem atau proses.

Tapi lebih dari itu, demokrasi menawarkan sebuah ruang imaji. Di mana senantiasa ada citra yang menggoda di dalamnya yang mengajak kita berfantasi lewat gambar, suara, dan mungkin saja lewat adu kata-kata manis. Lalu setelah mencapai klimaks, kita akhirnya disadarkan bahwa politik dalam sebuah demokrasi, justru acap kali tidak berjalan lurus, tidak semolek apa yang dibayangkan dalam janji-janji kampanye. Ujungnya mungkin kita hanya akan berakhir lemas setelah klimaks selesai.

Imajinasi di Balik Onani Demokrasi

Tapi onani dalam demokrasi langsung tak selamanya bermakna buruk. Pada sisi yang lain onani bisa menjadi alternative dari pencapaian hasrat dan naluri kebutuhan manusia akan cita-cita, harapan, dan juga mungkin impian, karena tentu sangat menjemukan jika kita hidup tanpa imajinasi. Bukankah Indonesia pernah hidup dalam dua alam yang berbeda. Di masa Soekarno kita pernah merayakan sebuah kehidupan penuh impian ketika rakyat negeri ini diajak berimajinasi akan berbagai hal dan pencapaian masa depan. Tentang Indonesia yang 'besar' dan 'kuat' yang kelak menjadi pemimpin Asia bahkan mungkin Afrika.

Lalu Soeharto datang yang secara perlahan menggeser segala impian menjadi sesuatu yang lebih sederhana dan material. Bahwa kemerdekaan harus diisi dengan membangun, stabilisasi harga, dan juga tertib sipil. Perdebatan hanya milik kaum ekstrimis dan Indonesia diajak tak perlu memiliki impian yang panjang, cukup sandang, pangan, dan papan terpenuhi di situlah akhir dari cita-cita yang mesti terpenuhi.

Dua bayangan ini tentu saja saling tarik-menarik dan tolak-menolak dalam imajinasi rakyat negeri ini yang sedang memasuki tahun ke-15 dari sebuah zaman yang kemudian kita kenal sebagai reformasi. Apakah memilih gegap-gempita dalam demokrasi atau kembali pada kepastian berpikir di masa Orde Baru.

Dalam bentuk yang berbeda, inilah yang terjadi pada demokrasi langsung Makassar apakah pemilih akan memilih janji yang penuh gairah dan kemolekan yang ditawarkan 'si itu' atau justru tetap mempercayakan segalanya kepada 'si ini' yang tidak memiliki banyak janji kecuali seperti Soeharto yang mencintai stabilitas dan kepastian. Toh setidaknya dengan demokrasi langsung seperti ini, rakyat masih memiliki kuasa yaitu kebebasan memilih dari berbagai pilihan yang ada. 

Bencana Demokrasi Langsung, Bencana Banyak Wajah

Salah satu persoalan dari demokrasi langsung yang kini kita laksanakan, adalah 'representasi'. Dimana sesuatu yang 'asli' senantiasa menjadi bahan pertanyaaan. Misalnya, 'ternyata calon A gambar balighonya lebih buruk dibandingkan wajah aslinya yang lebih cantik'.

Demikian pula apakah benar program 'calon C', bisa dijalankan karena dari janji si C selama masa kampanye saja sulit untuk di pahami. Inilah persoalan representasi, ketika sesuatu yang asli sulit ditemui dan semuanya hanya digantikan oleh gambar baligho atau iklan advertorial media massa.

Antara calon dan para pemilihnya menjadi berjarak dan semuanya tergantikan oleh gambar dan sekedar 'omong sana dan omong sini'! Saya teringat sebuah sajak yang saya temukan di catatan harian semasa kuliah, penulisnya entah siapa :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun