Cita-cita swadeshi Gandhi adalah pelayanan bagi negeri sendiri, yang tiada ubahnya dengan nasionalisme. Swadeshi menurut dia memiliki beberapa aspek. Ada swadeshi politik, yang dalam kalimat Woodrow Wilson berarti, "hak untuk menentukan nasib sendiri". Itulah hak untuk memelihara dengan penuh kasih sayang lembaga politiknya sendiri, hak untuk memiliki pemerintah sendiri. India memiliki hak ini karena setiap bangsa memilikinya. Ada swadeshi ekonomi. Pengembangan dan perlindungan industrinya sendiri. Boikot atas pakaian luar negeri, pemakaian "khadar" dan budaya pemintalan sendiri. Ada swadeshi agama, kesetiaan kepada, dan penyucian atau pemurnian dari agama negeri sendiri. Gandhi menyebut dirinya sebagai seorang Hindu ortodok, tapi ia juga mengatakan bahwa "bila ke-chandala-an merupakan bagian dari, maka saya bukanlah orang Hindu". Ucapan ini berarti bahwa Gandhi bertujuan untuk mereformasi agama Hindu dan memurnikannya kepada cita-cita yang seharusnya.
Dengan alasan ini ia membuang ke-chandala-an, penindasan terhadap orang miskin, kecanduan obat, secara sekuler dan agama. Gandhi berpendirian bahwa semua agama bila direformasi dan dilaksanakan dengan serius mengandung cukup kebenaran untuk menghasilkan karakter. Berdasarkan hal ini, menurut pendapatnya proselitasi (pencarian pengikut agama dari orang yang sudah beragama) senantiasa dan dimanapun adalah salah, dan harus diganti dengan kerja kemanusiaan, satu-satunya perwujudan dari keyakinan agama seseorang dalam perbuatan. Ada juga swadeshi pendidikan, pengembangan dari bahasa dan budaya bangsa itu sendiri. Sekolah-sekolah nasional adalah perwujudan dari cita-cita ini dan serta penekanan yang semakin pentingnya pemeliharaan bahasa daerah.
Landasan Perjuangan Pantang Kekerasan
Ahimsa, satyagraha dan swadeshi adalah tiga pilar yang melandasi perjuangan pantang kekerasan Gandhi. Ahimsa adalah falsafah pantang kekerasan yang dikembangkannya, satyagraha adalah aksi perjuangan yang tidak memakai kekerasan, serta swadeshi adalah perjuangan untuk nasionalisme itu sendiri. Tiga pilar ini terasa semakin relevan dalam konstelasi politik internasional saat ini yang membawa perubahan cepat dari peradaban serta nilai-nilai budaya manusia.
Dengan demikian ketiga pilar tersebut masih relevan terutama dalam merealisasikan tata dunia baru yang masih tetap memegang etika kemasyarakatan dengan berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan universal yang oleh Magnis Suseno, diperinci menjadi:Â
Pertama, setiap negara dan bangsa berhak atas integritas nasionalnya sendiri dan wajib untuk menghormati integritas nasional setiap bangsa dan negara lain dalam kesetiakawanan dengan, serta bertanggung jawab terhadap semua bangsa di dunia.Â
Kedua, hak-hak dasar setiap orang sebagai manusia wajib dihormati;Â
Ketiga, semua anggota masyarakat berhak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang menyangkut mereka sendiri;Â
Keempat, perwujudan keadilan sosial perlu diberi prioritas utama dalam usaha pembangunan masyarakat;Â
Kelima, harkat keyakinan agama sendiri membenarkan diri dalam sikap hormat terhadap keyakinan orang lain;Â