Mohon tunggu...
Kapten Jack Sparrow
Kapten Jack Sparrow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Instagram: stvnchaniago, Email: kecengsc@gmail.com, Youtube: FK Anime,

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bahas Baliho Konvensional Politisi dari Sudut Pandang Public Relations

14 Agustus 2021   17:10 Diperbarui: 15 Agustus 2021   17:26 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baliho milik politisi Puan Maharani (Sumber: kompas.com)

Mendekati tahun 2023 dan 2024 yang disebut sebagai "tahun politik", hampir sebagian besar politisi sudah memulai manuvernya menjelang akhir tahun 2021. Berbagai cara mereka lakukan untuk meningkatkan elektabilitas, salah satunya adalah dengan cara memasang baliho, baik secara konvensional, maupun secara digital.

Berdasarkan pengamatan saya, politikus pertama yang memulai aksi pasang baliho, ialah politikus partai PDIP, Puan Maharani, yang memasang baliho secara konvensional. 

Kemudian, hal ini berlanjut ketika hampir seluruh politisi membuat baliho secara digital di sosial media, untuk mengucapkan selamat kepada pasangan Greysia/Apriani yang berhasil meraih emas di cabor bulu tangkis di Olimpiade Tokyo 2020. Karena saya bukan pengamat politik, mohon dibenarkan apabila ada informasi di atas yang dirasa kurang tepat.

Kemudian, memasuki pertengahan bulan Agustus 2021, ramailah baliho konvensional bertebaran di jalan-jalan. Beberapa pengamat menyebut, bahwa uang untuk memasang baliho tersebut sejatinya bisa digunakan untuk membantu orang-orang yang sedang terdampak pandemi. Ada juga yang menyebut "promosi diri" tersebut masih terlalu dini, mengingat situasi di Indonesia belum sepenuhnya pulih dari krisis pandemi Covid-19.

Namun, perdebatan di atas sejatinya adalah kembali ke personal masing-masing, karena setiap orang menjalani pandemi dengan berbeda-beda, ada yang makin sukses, ada juga yang makin terpuruk, jadi itu kembali ke empati para politisi tersebut, apakah elok memasang baliho di masa pandemi.

Di artikel kali ini, penulis lebih ingin mengulas pemasangan baliho tersebut dari sisi Public Relations, secara sebagai mahasiswa Public Relations, fenomena berikut cukup menarik untuk dibahas. Menurut beberapa pihak, pemasangan baliho secara konvensional ini sudah tidak efektif, lantaran pesatnya perkembangan dunia digital.

Nah, pertanyaan yang ingin penulis jawab di artikel ini adalah, apa iya baliho konvensional sudah tidak efektif lagi dikarenakan pesatnya perkembangan dunia digital? 

Menurut penulis, tidak. Baliho konvensional masih memiliki daya tarik dan tingkat efektivitas yang cukup menggiurkan. Berikut penulis bahas 3 alasan mengapa baliho konvensional masih "seksi" di mata para politisi:

1. Efektif Menarik Atensi Masyarakat Kecil dan Orang Tua

Perlu penulis jelaskan, bahwa maksud dari masyarakat kecil adalah masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Lalu pertanyaannya, mengapa baliho konvensional efektif untuk menarik atensi masyarakat kecil dan orang tua? Jawabannya sederhana, karena kedua golongan tersebut tidak memiliki akses yang mumpuni terhadap dunia digital.

Pertama, mengenai masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah. Memang betul, rata-rata dari mereka pasti minimal sudah mempunyai telepon genggam. Tapi, apakah ada yang bisa menjamin kalau mereka mempunyai aplikasi digital seperti Instagram, Tiktok, Twitter, atau minimal rajin mengecek internet untuk melihat perkembangan informasi seputar dunia politik?

Jawabannya jelas tidak. Masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, akan sulit dijangkau apabila hanya mengandalkan teknologi digital, karena mereka rata-rata menggunakan handphone untuk menelepon dan SMS saja. Ya, paling mentok Whatsapp. 

Jadi, cara terbaik untuk menjangkau mereka, adalah dengan turun langsung, salah satu caranya dengan memasang baliho konvensional, yang memang memiliki ukuran cukup besar dan gampang terlihat.

Kedua, perihal orang tua. Memang ada beberapa kaum usia lanjut yang masih aktif dan eksis menggunakan sosial media, namun tentu, jumlahnya tak seberapa dengan yang tidak bermain sosial media. Jadi, sia-sia rasanya berkoar-koar di sosial media apabila yang ditargetkan adalah orang-orang tua, karena pasti tidak akan connect.

Maka dari itu, cara paling efektif untuk menjangkau orang-orang tua, memang adalah melalui cara konvensional, ya itu tadi, dengan memasang baliho. Ketika pergi bekerja atau pulang bekerja misalnya, ketika mereka melewati jalan raya, kemudian sengaja ataupun tidak sengaja melihat baliho seorang politisi, maka mereka akan sadar, oh ternyata ada ya politisi yang namanya "A" atau "B". Loh, memang apa untungnya bagi para politisi itu? Nah, akan penulis jelaskan di poin selanjutnya.

2. Efek Repetisi dan Brain Recognition

Yup, manfaat baliho konvensional yang (biasanya) dipasang dalam jangka waktu yang lama, ialah timbulnya efek repetisi di benak orang yang melihatnya. Contoh, seperti saya yang bukan peminat politik dan bukan fanatik partai apa pun, saya jelas tidak akan mengetahui bagaimana kinerja "A", "B", atau "C". Logikanya, namanya saja tidak tahu, bagaimana mau mengetahui kinerjanya, iya kan?

Maka dari itu, baliho konvensional ini ditujukan untuk mengenalkan si politisi ini, terutama untuk orang-orang yang belum mengenalnya. Karena dilihat terus-terusan oleh orang yang sama, perlahan tapi pasti, timbul efek repetisi di benak orang yang melihatnya tersebut. 

Sehingga, orang itu tidak lagi menjadi "buta" mengenai si politisi ini, karena sudah ada perkenalan secara tidak langsung sebelumnya, melalui baliho yang dilihatnya setiap hari tadi.

Dampak positif bagi si politisi? Ya jelas, orang yang awalnya tidak tahu, akan mulai mencari tahu informasi tentang si politisi ini, jika memang ia tertarik. Si politisi ini dari partai mana, kinerjanya bagaimana, bahkan kalau perlu informasi mengenai keluarganya juga dicari tahu. Dan apabila memang semua clean dan kinerjanya memuaskan menurut orang awam ini, maka besar kemungkinan orang ini akan memilih politisi yang sudah melekat di benaknya tersebut.

Selanjutnya, Brain Recognition. Brain Recognition sendiri adalah kemampuan otak untuk mengenali sesuatu. Cara paling gampang untuk membentuk Brain Recognition adalah dengan melihat. Nah, dengan baliho konvensional yang kadang ukurannya luar biasa besar di mata, efek Brain Recognition akan lebih gampang terbentuk.

Jadi, ambil contoh pernah ketika pertama kali saya menggunakan hak suara. Saya sempat blank ketika melihat banyaknya nama dan wajah di kertas suara. Lalu, apa yang saya lakukan? Ya saya mencoba melihat wajah-wajah para politisi itu sembari mencocokannya dengan nama dan memori yang ada di ingatan saya.

Ternyata, oh saya pernah melihat nih baliho si politisi "P", saya ingat salah satu misi beliau (misalnya) adalah "Meningkatkan taraf hidup penulis di Indonesia". Wah, karena kebetulan saya penulis, saya coblos lah si "P". Nah, itulah siklus singkat bagaimana Brain Recognition yang disebabkan oleh baliho konvensional bekerja.

3. Terbukti Masih Efektif Sebagai Sarana Promosi

Terakhir, alasan mengapa politisi masih hobi memasang baliho konvensional, ialah karena keefektivitasan baliho konvensional yang nampaknya masih tinggi meski berada di tengah perkembangan digital yang masif.

Alasannya? Coba deh, ingat lagi ketika Deddy Corbuzier dan Ivan Gunawan "berseteru" menggunakan papan billboard. Ya, berseterunya sengaja saya kutip, karena memang perseteruan itu adalah settingan, guna menggaet atensi publik, agar menonton podcast Deddy Corbuzier, serta mengunjungi salonnya Ivan Gunawan.

Pertanyaannya, ngapain sih Deddy dan Ivan mesti repot-repot menggunakan papan billboard untuk sekedar promosi? Bukannya harga iklan di papan billboard itu mahal? Lagian, podcast Deddy Corbuzier juga ramai ditonton anak muda, dan salon Ivan Gunawan juga ramai dikunjungi selebriti dan ibu-ibu sosialita.

Jawaban dari pertanyaan di atas adalah, karena memang ada "Pasar" yang hanya bisa digaet menggunakan cara tersebut (memasang iklan di billboard). Seperti yang saya jelaskan tadi, tidak semua orang itu aktif bermain sosial media, dan tidak semua orang juga tergolong ibu-ibu sosialita atau selebriti. Jadi, untuk menggaet "Pasar" di luar pelanggan tetap mereka, diperlukan suatu "Brand Awareness" yaitu dalam bentuk billboard.

Nah, hal ini juga yang coba dilakukan oleh para politisi, hanya saja memang medianya berbeda, yaitu dengan baliho konvensional. Para politisi juga sedang berlomba untuk menggaet "Pasar" yang ada di masyarakat saat ini. Karena kalau mereka tidak melakukannya, ya "Pasar" tadi akan direbut calon lain, yang mana jelas menimbulkan kerugian besar bagi politisi yang tidak ikut memasang baliho. 

Apakah promosi menggunakan baliho konvensional menjamin politisi-politisi itu bakal sukses? Tentu saya tidak tahu, karena saya tidak bisa memprediksi masa depan. 

Namun, apabila berkaca dari sarana promosi billboard Deddy Corbuzier dan Ivan Gunawan yang mirip dengan promosi melalui baliho, maka tingkat kesuksesannya cukup tinggi. Terbukti, Deddy Corbuzier subscribernya bertambah ramai dalam waktu singkat, meskipun sebelum iklan di billboard juga subscribernya juga sudah banyak.

Untuk Ivan Gunawan penulis kurang tahu, karena penulis tidak menemukan pemberitaan mengenai traffic dari salon miliknya setelah billboard tersebut dipasang. Nah, jadi apakah kesuksesan promosi billboard Deddy Corbuzier juga akan diikuti dengan kesuksesan para politisi yang promosi menggunakan baliho? Kita nantikan di tahun-tahun mendatang hasilnya.

***

Nah, itulah pembahasan singkat penulis perihal mengapa baliho konvensional masih menarik bagi para politisi di Indonesia dari sudut pandang Public Relations. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun