Mohon tunggu...
Sri Setyaningsih (201520027)
Sri Setyaningsih (201520027) Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

All change starts with us.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anti Kekerasan Seksual di Kampus

6 Desember 2021   15:49 Diperbarui: 6 Desember 2021   16:14 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

LAWAN PREDATOR SEKSUAL KAMPUS

Maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan kampus ternyata belum selesai. Indonesia masih banyak yang belum sadar akan tindakan yang katanya sepele dan berkodok dengan kata "bercanda", ternyata tindakan tersebut dapat mengganggu privasi serta kebebasan seseorang. 

Kerap ramai lagi berita tentang tindakan kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan kampus pada tahun 2021 ini. Berita tentang kekerasan dan pelecehan seksual yang muncul sekarang bukan hanya berada disatu kampus saja, tetapi sudah banyak terjadi dikampus-kampus yang ada di Indonesia. 

Hal tersebut dilakukan bukan lagi oleh mahasiswa kepada mahasiswa lain, tetapi sudah banyak dosen bahkan pejabat-pejabat kampus yang menjadi pelakunya.

Banyak korban-korban yang masih takut untuk melapor kepada pihak yang berwajib dan pihak kampus khususnya tentang kekerasan dan pelecehan seksual yang dialaminya ini, karena masih lemahnya payung hukum di Indonesia yang belum bisa melindungi korban sepenuhnya. 

Bahkan ada kejadian tentang korban yang dituntut balik oleh pelaku atas pencemaran nama baik, karena tidak memiliki bukti yang kuat dan valid akan kejadian tersebut. Hal ini menjadi salah satu penyebab masih banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual dilingkungan kampus yang tidak selesai dan dianggap sepele oleh sebagian pihak, padahal dampak yang diterima oleh korban sangat besar terutama dalam hal psikologis korban.

Kasus kekerasan dan pelecehan seksual dilingkungan kampus masih banyak yang ditutupi oleh sebagian oknum di lingkungan kampus yang ada di Indonesia. Nama baik kampus masih menjadi salah satu alasan utama penyebab bungkamnya pihak kampus dalam mengusut tuntas masalah kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan kampus. 

Terdengar lagi baru-baru ini kabar tentang seorang mahasiswi yang dihapus namanya dari daftar yudisium, karena mahasisiwi tersebut diduga adalah korban pelecehan seksual oleh salah satu dosen di Universitas yang melapor kepolda daerah setempat. 

Banyaknya kejadian pelecehan seksual seperti ini merupakan salah satu bentuk ancaman bagi para mahasiswa untuk terus berhati-hati kepada sekitar, karena masih bebasnya predator seksual di lingkungan kampus saat ini.

Lemahnya payung hukum di Indonesia

Telah terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 pada Minggu (3/9/2021), mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. 

Hal ini dapat menjadi salah satu landasan baru dalam mencari keadilan untuk masalah kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan kampus. 

Tetapi karena masih lemahnya hukum di Indonesia membuat para predator seksual kampus tidak takut ataupun jera. Bahkan sampai saat ini makin ramai alih-alih kabar tentang kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan kampus setelah keluarnya pemen tersebut.

Penanganan sanksi administratif yang tercantum dalam Pasal 10 Permendikbud menegenai kewajiban kampus adalan pendampingan, perlindungan, dan pemulihan korban. Kemudian di Pasal 14 dirincinya tentang jenis sanksi. 

Pertama, sanksi administratif ringan berupa teguran tertulis atau permohonan maaf secara tertulis yang dipubliskan di internal kampus atau media massa. 

Kedua, sanksi administratif sedang berupa pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan, atau pengurangan hak sebagai mahasiswa. 

Ketiga, sanksi administratif berat berupa pemberhentian tetap sebagai mahasiswa, dan pemberhentian tetap dari jabatan sebagai Pendidik Tenaga Kependidikan atau Warga Kampus.

Lambatnya proses hukum yang dilakukan membuat kecemasan bagi para korban. Kejelasan tentang proses hukum yang dilaporkan seakan-akan menjadikan korban sebagai pegemis keadilan. 

Terkadang korban tidak diberi kepastian akan kelanjutan dari laporan tersebut. Dan waktu-waktu seperti ini bisa menjadi boomerang yang dilemparkan oleh pelaku kepada korban dengan berlindung di UU ITE tentang pencemaran nama baik. 

Hal tersebut banyak membuat korban yang seharusnya mendapat keadilan sepenuhnya, tetapi malah menjadi korban untuk kedua kalianya.

Kejadian seperti ini dapat membuat keadilan kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhambat untuk kedepannya. Masih banyak pelaku-pelaku yang bebas dari hukuman seharusnya, salah satu faktornya adalah ketika mereka rata-rata merupakan petinggi-petinggi yang memiliki kekuasaan besar dan sircle yang luas. 

Hal ini dapat membuat korban menjadi takut untuk bersuara, karena melihat penanganan hukum yang tidak berjalan semestinya. Dengan melihat kasus-kasus sebelumnya yang tidak mendapat penanganan tuntas, dan bahkan tidak ada kejelasan sebagai jalan keluar untuk masalah ini.

Korban dirugikan untuk kedua kalianya, psikologisnya terganggu, hidupnya berantakan, masa depannya suram. Lalu bagaimana kabar penerus bangsa? Jika keadilan saja tidak diberikan, apalagi hak atas kebebasan.

Aksi memperingati 16 HAKTP 2021

Sejumlah aktifis berbondong-bondong melakukan aksi di depan gedung DPR pada Kamis (25/11/2021). Mereka menuntut agar RUU TPKS segera disahkan, mengingat semakin maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan kampus. Mereka juga menuntut DPR untuk mempertahankan judul RUU saat ini, yaitu RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasa Seksual).

Berdasarkan data dari komnas perempuan 2015-2020, 27 kasus kekerasan dan pelecehan seksual terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Sementara ini Permendikbud TPKS masih menuai pro kontra setelah disahkan. 

Banyak oknum yang beranggapan bahwa Permendikbud ini melegalkan perzinahan. Belum adanya syariat dan aturan agama didalamnya, yang menjadikan opini-opini masyarakat mengarah kepada hal tersebut.

Permasahan korban tidak berani melapor karena malu, trauma, dan takut masih menjadi penghambat dalam menangani masalah kekerasan dan pelecehan seksual ini. Membatasi ruang gerak korban  bersuara dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku belum terealisasikan dengan baik sampai saat ini.

Mereka beranggapan korban tidak membutuhkan RUU Pidana Seksual, tetapi yang dibutuhkan adalah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Hal ini karena RUU Pidana Seksual belum bisa memberikan keadilan sepenuhnya kepada korban, bahwa korban juga bisa jadi tersangka kembali.

Kampus yang baik adalah kampus yang inklusif dan toleran, memberikan ruang aman dan menjaga nama baiknya dengan mengusut tuntas akan masalah kekerasan dan pelecehan seksual ini. Bukan yang menutup-nutupi hanya untuk melindungi satu dua orang saja.

         

Stigma masyarakat dan dampak yang terima korban

Kekerasan dan pelecehan seksual tanpa disadari bisa menghancurkan masa depan korban. Masih tabunya tentang seks eduction di Indonesia ini, memicu masih banyak orang yang menyepelehan masalah tersebut. Kurangnya kepedulian masyarakat tentang kekerasan dan pelecehan seksual membuat kejahatan ini dianggap bercandaan.

Sangat miris jika permasalahan kekerasan dan pelecehan seksual selalu dianggap bahwa yang salah adalah korbannya. Contohnya ialah, ketika bajunya yang ketat, bodynya yang menarik, mulutnya yang manis, dan lain-lain. Lalu dimana ruang bebas untuk seseorang bila penampilan saja selalu disalahkan?.

Lagi-lagi yang harus berhati hati adalah perempuanya, padahal survey membuktikan jika kekerasan dan pelecehan seksual banyak dilakukan terhadap perempuan yang berpakaian tertutup. Dan juga kejadiannya banyak dilakukan pada siang hari. Lalu jika seperti  ini tetap salah korban?

Tidak bisa bahwa dipungkiri setiap manusia memiliki hawa napsunya sendiri, tetapi permasalahannya tentang bagaimana tindakan dari setelahnya. Jika pikiran itu hanya ada didalam otak dan tidak berkelanjutan, tidak mungkin terjadi hal-hal kejahatan seperti, cat calling bahkan sampe pemerkosaan.

Dampak yang didapat korban mungkin tidak dapat dilihat dari fisik luar korban, tetapi dampak yang dirasakan korban cenderung mempengaruhi psikisnya. Dampak yang didapat tergantung dari kejahatan yang diberikan dan kesiapan mental seseorang. Jika psikis korban yang lemah bisa sangat merugikan kehidupan korban untu kedepannya.

Kesimpulan

Kekerasan dan Pelecehan Seksual dapat menyebabkan kerugian dibanyak faktor, salah satunya adalah kesehatan mental pada korban. Hal ini bisa menimbulkan traumatik tersendiri terhadap psikologis korban, serta dapat memengaruhi aktifitas kedepannya. 

Karena masih sangat tabunya pemikiran -- pemikiran tentang pengetahuan seksual, membuat banyak orang enggan untuk mencari tau edukasi tentang seks. Untuk itu kita sebagai yang tau, wajib untuk menyampaikan hal-hal tersebut kepada banyak orang atau paling tidak kepada orang-orang yang ada disekitar kita.  

Melindungi diri masing-masing juga perlu, serta mencari tau bagaimana caranya mengatasi masalah ketika berhadapan dengan predator seksual tersebut lebih perlu. Kejahatan timbul karena adanya kesempatan, jangan sampai ada yang dirugikan terlebih dahulu, baru membawanya kejaur hukum.

Sri Setyaningsih, Mahasiswa UIN SMH Banten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun