Pagi ini mentari bersinar tinggi menampakkan kemilau cahayanya dibalik cumulonimbus yang beterbangan. Merangsek masuk memecah putih menjadi warna yang lebih terang. Jika diperhatika secara seksama, awannya sangat tipis. Setipis jarak yang misahkan kita saat ini. Setegak bukit dan gunung yang masih memagari dinding-dinding rumah supaya tidak bergoyang.Â
Tiangnya dunia yang dipancangkan kedalam inti bumi, memangku langit. Untung saja, kita memiliki istana sebaik-baiknya istana yang tahan gempa. Maklum, pergesekan kerak bumi sudah mulai sering. Sudah meronta tak mengerti apa yang ingin disampaikan jika ia ingin berbicara kepada manusia.Â
Bergoyang kembali tanah ini. Dinding istana masih lentur bergoyang mengikuti pergerakan tanah. Takjub dengan orang yang mendesain struktur dan tatanan di istana ini. Warnanya kemilau putih, seperti cumulonimbus yang disinari oleh cahaya mentari pagi ini. Seharusnya kalo ini bangunan biasa, akan runtuh dengan guncangan gempa yang setiap waktu akan datang. Orang yang merancang ini mampu membungkus segala sesuatu yang terlihat akan menjadi duka, berbalik menjadi suatu suka.Â
Kelihatannya, manusia seperti aku tidak akan merasakan nyaman bila dihujani terpaan gempa terus menerus. Bisa berapa kali membangun rumah atau akan pindah saja mencari tempat yang aman. Tapi kan faktanya tidak seperti itu? Kita masih tinggal disini, menikmati secangkir teh dicampur daun melati yang aromanya sudah pasti khas. Menikmati pergerakan bumi sebagai bentuk komunikasi yang disampaikan melalui bahasa gerak. Menyadari jika kita ini adalah bagian yang menyatu dengan bumi. Tinggal bersama bumi, merasakan getaran yang sama dengan bumi.Â
Karena kita sedarah dengan bumi...
Salam