Ketua RT yang Saya Takuti

Padahal ditempat saya tinggal, sambutan sering diucapkan dalam bahasa Jawa halus (kromo). 

Ini lebih menakutkan lagi. Penguasaan bahasa kromo saya sangat minim.  Saya tumbuh dalam keluarga biasa yang tak sering menggunakan bahasa ibu itu. 

Masih berhubungan dengan sambutan, kostum formal saya juga sedikit. Baju batik hanya punya 3 buah. Saat pergi kondangan atau ke acara formal, baju yang saya pakai ya itu itu saja bergantian. 

Nanti kalau saya menjadi Ketua RT dan sering diundang ke acara formal, baju batik saya bisa dikira pakaian seragam karena keseringan dipakai. 

Menjadi ketua RT itu juga rentan nombok. Iuran warga sering kali tak cukup untuk membiayai sebuah acara. Gaji RT juga tidak cukup untuk menutupi kekurangannya. 

Di Indonesia itu banyak acaranya. Semuanya memerlukan dana. 

Ada Tujuh Belasan, tahun baruan, ulang tahun kampung, tirakatan, halal bihalal dll. 

Ada lagi kerja bakti yang dalam setahun tidak bisa dihitung karena tergantung instruksi pemerintah kota. 

Jika kerja bakti, tentu saja harus ada konsumsi. Kalau tak ada sumbangan dari warga, Pak RT terpaksa menggunakan dana dari koceknya. 

Jangan lupa juga dengan lomba lomba. Ada lomba kebersihan, taman sehat, balita sehat, gapura, tujuh belasan, dll. 

Ketika kampung kita diminta ikut lomba oleh Pak Lurah, itu artinya harus siap mengeluarkan dana ekstra.