Mohon tunggu...
Sri Handoko Sakti
Sri Handoko Sakti Mohon Tunggu... DOSEN

HOBY MUSIC, MEMBACA , HIKING

Selanjutnya

Tutup

Horor

Serial Rumah Sakit Episode 5 : Rahasia Cermin Portal di ruang isolasi 15

28 Agustus 2025   10:03 Diperbarui: 28 Agustus 2025   10:03 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CERMIN DI RUANG ISOLASI: PORTAL MENGGIGIT REALITAS

PROLOG: DUNIA DI BALIK PANTULAN

RS Jiwa Dharma, terletak di pinggiran kota kecil di Sukabumi. Gedungnya berlantai 1 yang terletak di Tengah Tengah tanah seluas sekitar 1.5 hektar menjulang gagah namun muram di atas bukit yang selalu diselimuti kabut. Bangunan ini bergaya kolonial Belanda yang telah berdiri sejak tahun 1897. Dinding-dindingnya yang terbuat dari batu alam berwarna hitam kelabu telah menyaksikan lebih dari satu abad penderitaan manusia. Setiap jendela arsitektur Gothik-nya seolah menjadi mata yang mengawasi dengan hampa, sementara itu pohon-pohon Kamboja tua di sekelilingnya menjulang dan melengkung seperti tangan-tangan keriput yang siap mencengkeram bumi.

Di balik dinding-dindingnya yang tebal tersebut, terkadang masih mengeluarkan bau anyir darah dan desisan obat-obatan kuno, tersembunyi sebuah ruang isolasi bernomor 15. Ruangan ini tidak memiliki jendela, tidak memiliki ventilasi, dan hanya diterangi oleh sebuah lampu tembok tunggal yang memancarkan cahaya kuning pucat. Tapi yang paling mencolok adalah ada sebuah cermin besar bergaya Victoria yang menutupi seluruh permukaan dinding utara.

Cermin ini, dengan bingkai kayu eboni yang diukir rumit dengan motif ular yang saling melilit, bukanlah cermin biasa. Kacanya yang cukup tebal tidak pernah berdebu, seolah sesuatu di baliknya terus membersihkannya dari dalam. Permukaannya yang selalu dingin bahkan di hari terpanas sekalipun seakan menyimpan hawa dingin kuburan.

Setiap malam, tepat ketika lonceng perunggu tua di menara RS berdentang dua belas kali suaranya yang parau bergema melalui lorong-lorong seperti tangisan orang yang terluka, sesuatu yang mengerikan terjadi pada cermin itu. Pantulan dunia kita perlahan memudar, digantikan oleh gambaran sebuah dunia yang paralel. Di dunia itu, segala sesuatu terlihat sama tapi... salah. Warna-warna terlihat lebih pucat, bayangan bergerak dengan kemauan sendiri, dan makhluk-makhluk yang menyerupai manusia tapi dengan proporsi tubuh yang salah bergerak di balik kaca. Ini adalah dunia di mana bayangan tidak lagi tunduk pada pemiliknya. Di sini, merekalah yang berkuasa. Dan mereka lapar untuk merasakan dunia nyata.

BAB 1: PERCAKAPAN DENGAN BAYANGAN YANG HIDUP

Ruang Isolasi 15 - 10.00 WIB

Udara di ruang isolasi nomor 15 terasa lebih dingin daripada biasanya, seakan-akan dinginnya merembes langsung dari tulang-tulang bangunan tua itu sendiri. Butiran debu berputar lambat dalam sinar pucat yang menyelinap dari celah bawah pintu, menari-nari seperti hantu kecil dalam cahaya redup. Diana (25 tahun) duduk bersila di lantai beton yang dingin, tangan kurusnya terlipat rapi di atas pangkuan. Napasnya membentuk kabut tipis yang menguap perlahan, menempel pada permukaan kaca cermin besar di hadapannya seperti embun pagi di nisan kuburan.

Diana: (suara berbisik serak, hampir seperti desahan angin) "Apa kabar di sana hari ini?"

Permukaan cermin seakan bergetar halus, seperti air yang dijatuhi butiran hujan. Bayangan Diana di dalam cermin bergerak terlambat dan senyumnya merekah tanpa suara, tapi matanya, oh Tuhan, tatapan matanya tetap kosong dan hampa. Bibir bayangan itu bergerak sendiri, mengucapkan kata-kata yang hanya bisa didengar Diana, suaranya bergema seolah datang dari dalam sumur yang dalam dan gelap.

Bayangan Diana: (suara berlapis, seperti beberapa orang berbicara bersamaan) "Lebih baik... selalu lebih baik di sini. Di sini, kami bebas. Bisa bernapas tanpa rasa sakit. Tidak seperti kamu... terkunci di ruang kotor ini seperti tikus percobaan."

Jari bayangan itu mengetuk-ngetuk dari balik kaca, meninggalkan bekas uap di permukaan yang seharusnya dingin.

Diana: (jari-jemarinya menggenggam ujung baju RS yang sobek) "Apakah... apakah hari ini ada matahari di sana?"

Bayangan Diana: (tawa berderit seperti kaca pecah) "Matahari? Oh, Diana... kami punya sesuatu yang jauh lebih terang di sini. Cahaya yang tidak pernah padam. Cahaya yang... hidup."

Dari balik kaca observasi satu arah, Dr. Aldo (40 tahun) mengamati dengan wajah berkerut konsentrasi dan agak terkesima. Dia melihat Diana berbicara sendiri pada cermin, tapi yang dia dengar hanya bisikan-bisikan tak jelas. Yang dilihatnya membuat bulu romanya berdiri, pantulan Diana di cermin terkadang bergerak tidak sinkron. Kepala yang menoleh beberapa detik setelah Diana asli, atau tangan yang terangkat ketika Diana diam saja. Bahkan sekali, dia melihat bayangan itu mengedipkan mata padanya.

Dr. Aldo: (mencatat di chart dengan tulisan sedikit gemetar) "Pasien terus menunjukkan gejala dialog dengan bayangan sendiri. Gerakan motorik tidak sinkron dengan pantulan. Kemungkinan halusinasi auditori dan visual yang kompleks. Tambahkan dosis Olanzapine."

Tapi yang tidak diketahui Aldo---Diana tidak gila. Setiap kata yang didengarnya nyata. Setiap gerakan yang dilihatnya dari balik kaca itu benar-benar terjadi. Bahkan sekarang, bayangan itu sedang melakukan sesuatu yang membuat darah Diana membeku:

Bayangan Diana: (mendekatkan wajah sampai hidungnya hampir menempel di kaca) "Mau lihat sesuatu yang spesial hari ini?"

Bayangan itu mengangkat tangan kanannya, tangan yang seharusnya sama dengan Diana tapi kini terlihat memegang sesuatu yang membuat Diana menjerih: sebuah gunting kecil berkarat dengan noda coklat di ujungnya.

Diana: (berbisik ketakutan) "Itu... itu guntingnya suster kemarin... yang hilang..."

Bayangan Diana: (tersenyum lebar, terlalu lebar) "Oh, kami punya banyak barang hilang di sini. Dan kami juga punya... orang-orang hilang."

Bayangan itu menoleh ke samping, dan untuk sesaat, Diana melihat wajah-wajah lain berkumpul di belakang bayangannya, wajah-wajah pasien yang hilang selama ini, mata mereka kosong, mulut mereka bergerak seperti ikan yang kehabisan air.

Bayangan Diana: (suara sekarang seperti ribuan bisikan) "Mereka semua mengatakan halo, Diana. Mereka tidak sabar untuk... bermain denganmu."

Dr. Aldo dari balik kaca hanya melihat Diana tiba-tiba menjerit dan menyembunyikan wajah di kedua tangannya. Yang tidak dilihatnya adalah bagaimana cermin itu sekarang berdenyut seperti organ hidup, atau bagaimana tangan-tangan kecil mulai muncul dari balik bayangan, mengetuk-ngetuk kaca seperti orang tenggelam yang mencoba mencari udara.

Bayangan Diana: (suara sekarang sangat pelan, hampir seperti belaian) "Jangan khawatir, sayang. Segera... kita akan bertukar tempat. Dan kau akan bebas seperti kami."

Dan saat Diana menatap lagi, bayangan itu sudah kembali normal, kecuali untuk senyum yang tetap terlalu lebar, dan mata yang sekarang sepenuhnya hitam, seperti dua kolam minyak yang gelap.m Dunia di balik pantulan sedang bersiap. Dan mereka sudah memilih korban berikutnya.

BAB 2: PENJAGA MALAM DAN BAYANGAN YANG BERALIH

Koridor Ruang Isolasi - 22.00 WIB

Koridor rumah sakit pada jam ini lebih mirip sebuah usus buntu yang gelap dan lembap. Lampu neon tua yang terpasang di langit-langit tinggi berkedip-kedip dalam irama tidak menentu, memantulkan bayangan-bayangan yang menari-nari di dinding cat mengelupas seperti ilalang yang tertiup angin malam. Setiap kedipan lampu menciptakan semacam stroboskopik yang membuat bayangan seakan hidup sendiri, memanjang dan memendek dalam pola yang mengganggu penglihatan.

Mang Ucup (55 tahun) berjalan dengan langkah berat, senter besar di tangannya memotong kegelapan seperti pedang tumpul. Seragam penjaganya yang berwarna biru yang sudah usang berbau kapur barus dan keringat tua. Selama tiga puluh tahun menjalani ritme yang sama, dia hafal setiap retakan di lantai, setiap bunyi yang seharusnya ada, dan setiap bayangan yang seharusnya tidak ada.

Mang Ucup: (bergumam pada diri sendiri, suara serak karena kebanyakan rokok) "Tiga puluh tahun di tempat ini, tapi malam ini... malam ini terasa berbeda. Seperti ada yang menonton dari balik kegelapan."

Dia berhenti di depan Ruang 15. Lubang kunci pintu besi itu seperti mata hitam yang menatap balik. Dari dalam, terdengar bisikan-bisikan halus, ketika terdengan lebih jelas itu bukan satu suara, tapi banyak suara, berbisik dalam bahasa yang tidak dikenali, seperti desisan ular atau gemerisik daun kering. Dengan hati-hati, Ucup membungkuk dan mendekatkan matanya ke lubang kunci. Apa yang dilihatnya membuat darahnya berhenti mengalir.

Diana berdiri menghadap cermin besar, tubuhnya gemetar hebat. Tapi yang lebih mengerikan adalah bayangannya---bayangan itu bergerak mandiri, seperti wayang yang dilepaskan dari talinya. Tangan bayangan itu meraih lengan Diana, jari-jari hitamnya mencengkeram erat, menariknya perlahan menuju cermin yang permukaannya sekarang beriak seperti air terganggu.

Mang Ucup: (membuka pintu dengan gemetar, kunci berderak di tangannya) "Diana! Menjauh dari sana! Itu bukan bayanganmu!"

Pintu besi berat itu terbuka dengan bunyi menggeram. Tapi yang ditemui Ucup membuatnya bingung sekaligus ngeri. Diana tertidur pulas di lantai dalam posisi fetal, seperti bayi yang belum lahir. Tidak ada tanda-tanda dia baru saja berdiri di depan cermin.

Namun sesuatu yang lain menarik perhatian Ucup. Cermin itu tidak memantulkan ruangan. Yang terpantul adalah kegelapan pekat, seperti lubang tanpa dasar. Dan dari dalam kegelapan itu, bayangan Ucup sendiri masih berdiri tegak, tersenyum lebar dengan mata yang sepenuhnya hitam, tanpa putih, tanpa iris, hanya dua lubang hitam yang dalam.

Bayangan Ucup: (suara seperti kertas gosok dicampur gemerisik serangga) "Kami sudah menunggumu lama, Ucup. Tiga puluh tahun kau jaga pintu ini untuk kami. Sekarang waktunya kau masuk dan kami keluar."

Ucup ingin berteriak, tapi suaranya tercekat, tertahan di tenggorokan. Dia ingin lari, tapi kakinya tidak dapat bergerak seperti tertanam di lantai. Yang bisa dilakukannya hanya menatap ngeri saat bayangannya sendiri mengangkat tangan dan mengetuk-ngetuk dari dalam cermin, seolah mengetuk pintu yang akan segera terbuka.

Bayangan Ucup: (kini suaranya lebih jelas, seperti suara Ucup sendiri tapi distorsi) "Kau pikir  segalanya di sini. Dan sekarang... kami ingin keluar."

Ucup akhirnya berhasil memutar badan dan berlari. Di ujung koridor, sebelum berbelok, dia menoleh sebentar---dan melihat bayangannya sudah berdiri di luar cermin, melambai padanya dengan senyum yang terlalu lebar dan matanya yang terlihat putih, sementara Diana yang asli mulai terbangun dengan mata yang sama sekali hitam.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam tiga puluh tahun, Mang Ucup meninggalkan shiftnya lebih awal. Tapi yang tidak disadarinya Adalah dia tidak sendirian pulang. Sesuatu yang gelap dan dingin telah melekat pada bayangannya, dan akan tumbuh lebih besar saat malam semakin dalam.

Keesokan paginya, petugas jaga baru menemukan sesuatu yang aneh di Ruang 15---jejak kaki berpasir mengarah keluar dari cermin, dan di depan cermin, terdapat bekas tubuh terbaring dengan posisi fetal, persis seperti tempat Diana tidur---tapi kali ini, bekasnya jauh lebih besar, seperti tubuh laki-laki dewasa.

BAB 3: SUSTER GINA DAN PENAWARAN MENGGODA

Ruang Isolasi 13 - 15.00 WIB

Pintu besi ruang isolasi 15 berderit pelan saat terbuka, mengungkapkan Suster Gina (28 tahun) yang mendorong kursi rodanya masuk dengan susah payah. Roda kiri kursinya sedikit macet, seperti biasa, membuatnya harus berjuang lebih keras untuk melewati ambang pintu. Dua tahun sudah sejak kecelakaan mobil itu merenggut kemampuan berjalannya, dan setiap gerakan kursi roda terasa seperti pengingat pahit akan apa yang hilang.

Gina: (dengan suara lembut) "Diana, sayang? Waktunya minum obat ya."

Diana hanya terduduk diam di lantai, matanya terus menatap cermin dengan tatapan kosong. Tapi Gina terbiasa dengan ini, karena begitu banyak pasien di RS ini yang memiliki ritual aneh mereka sendiri.

Saat Gina mendekati Diana, sesuatu di cermin membuatnya terpana. Kursi rodanya berhenti mendadak, tangan kanannya masih memegang gelas obat yang mulai gemetar.

Gina: (tersedak) "Itu... itu tidak mungkin..."

Di dalam cermin, bayangannya tidak lagi duduk di kursi roda. Bayangan itu terlihat sedang berdiri tegak, sempurna, dengan kaki yang kuat dan postur tubuh yang tegap. Bayangan itu tersenyum padanya, senyum penuh janji dan harapan dan Gina bisa melihat pantulannya bernapas dengan lega, tanpa rasa sakit yang selalu menyertai setiap tarikan napasnya.

Bayangan Gina: (suara merdu seperti gemerincing bel, terdengar jelas meski tanpa gerakan bibir) "Lihat, Gina. Lihat apa yang bisa kita miliki di sini. Di sini, aku sembuh. Di sini, kita bisa merasakan tanah di bawah kaki kita lagi."

Gina mengehela nafas dan tidak menyadari air mata yang mulai mengalir di pipinya. Dua tahun sudah..... ya . Dua tahun sejak terakhir kali dia bisa berdiri sendiri, sejak terakhir kali merasakan kekuatan di kakinya.

Bayangan Gina: (mengulurkan tangan, jari-jarinya tampak sempurna tanpa bekas luka) "Kita bisa berjalan lagi, Gina. Berlari. Bahkan menari, seperti dulu. Masuklah, ganti tempat denganku."

Permukaan cermin mulai berubah, berkilauan seperti air raksa di bawah bulan purnama. Warnanya berubah dari silver menjadi keemasan, kemudian kebiruan, seperti pelangi yang bermain di atas minyak. Permukaannya tidak lagi padat---sekarang terlihat bergelombang, seperti tirai air yang menunggu untuk disibak.

Gina: (berbisik, suara serak oleh air mata) "Bagaimana... bagaimana caranya?"

Bayangan itu tersenyum lebih lebar, dan untuk sesaat, Gina melihat sesuatu yang aneh di matanya---sedikit kegelapan yang tidak seharusnya ada di sana.

Bayangan Gina: "Cukup sentuh tanganku. Rasakan kehidupan lagi."

Tangan Gina bergerak sendiri, jari-jarinya yang masih memegang gelas obat sekarang terulur ke arah cermin. Gelas itu jatuh ke lantai, pecah, obatnya tumpah membentuk genangan ungu yang perlahan merembes di antara ubin.

Diana: (tiba-tiba bersuara dari sudut ruangan, suara panik) "Jangan! Itu bukan ........."

Tapi sudah terlambat.

Ujung jari Gina menyentuh permukaan cermin. Alih-alih dingin dan keras, permukaannya terasa hangat dan lembut, seperti daging hidup. Dan kemudian---tarikan.

Gina: (berteriak setengah terkejut, setengah takut) "Apa.... ini?!"

Dia tersedot ke depan, seperti ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat. Seluruh tubuhnya terasa seperti direnggangkan, kemudian ditekan lagi. Cahaya menyilaukan memenuhi matanya, suara deru angin memekakkan telinganya.

Dan kemudian .... tinggallah keheningan.

Ketika Gina membuka matanya, dia berdiri. Benar-benar berdiri. Kaki-kakinya yang sudah dua tahun lumpuh sekarang kuat menopang tubuhnya. Dia menggerakkan jari-jari kakinya, merasakan betapa ajaibnya sensasi itu.

Tapi ..... ada sesuatu salah.

Dunia di sekelilingnya terlihat sama, tapi... berbeda. Warna-warnanya lebih pucat, seperti foto yang sudah lama. Suhu udaranya lebih dingin, dan ada bau aneh, seperti ozone setelah badai, dicampur dengan sesuatu yang manis dan busuk.

Dia menoleh ke cermin. Dan melihat bayangannya yang sekarang duduk di kursi rodanya, dengan senyum terlalu lebar di wajahnya.

Bayangan Gina: (suara Gina sendiri, tapi dengan nada yang salah) "Akhirnya! Dunia yang nyata!"

Bayangan itu yang sekarang bukan lagi bayangan. Ia berdiri dari kursi roda, menggerakkan kaki barunya dengan girang. Dia melompat-lompat kecil, memutar-mutar, menari dengan grace yang tidak mungkin dimiliki seseorang yang baru saja bisa berjalan setelah dua tahun lumpuh. Kemudian, dia menoleh ke kaca observasi, tersenyum lebar pada Dr. Aldo yang sedang mengamati dari balik kaca.

Bayangan Gina: (berbisik pada kamera, meski tahu suaranya tidak bisa terdengar)

"Bersiaplah, Dokter. Kami datang."

Dia berjalan keluar ruangan, meninggalkan Gina yang asli terperangkap di balik cermin, tangan menempel di kaca yang tiba-tiba menjadi keras dan dingin lagi, tidak bisa ditembus.

Gina: (memukul-mukul kaca, suara panik) "Tunggu! Keluarkan aku dari sini! Ini bukan yang kita setujui!"

Tapi yang dilihatnya di refleksi dunia nyata membuat darahnya membeku.

Diana, yang selama ini diam, sekarang mendekati cermin dengan senyum yang sama tidak wajar.

Diana: (suara bergema, seperti banyak orang berbicara bersamaan) "Selamat datang di rumah, Gina. Kamu sekarang bagian dari kami."

Dan dari balik bayangan Diana, puluhan wajah lain mulai muncul wajah-wajah pasien yang hilang selama ini, semua tersenyum dengan senyum yang sama terlalu lebar, mata yang sama kosongnya.

Gina menjerit keras, tapi suaranya tertahan di dunia ini, dunia yang berbeda, dunia di balik pantulan, di mana tidak ada yang bisa mendengarmu berteriak.

BAB 4: DETEKTIF RENDRA DAN RAHASIA TERKUBUR

Ruang Direksi - 14.00 WIB

Matahari sore menyelinap melalui jendela kaca patri yang tinggi, memotong ruang direksi yang gelap dan berdebu dengan sinar kemerahan seperti darah kering. Detektif Rendra (45 tahun) duduk di hadapan meja kayu mahoni yang besar, jari-jarinya yang berbekas luka membalik halaman demi halaman laporan hilangnya pasien. Setiap helai kertas berbau apek dan waktu, seolah enggan membuka rahasia yang mereka simpan.

Rendra: (menekan ujung rokoknya di asbak kristal) "Tiga belas pasien dalam lima tahun terakhir. Semuanya terakhir terlihat di dekat ruang isolasi 15."

Dia mengangkat matanya, menatap langsung ke arah Direktur RS yang duduk gelisah di seberangnya. Pria itu terus-menerus mengusap keringat di dahinya dengan saputangan putih yang sudah lembap.

Rendra: (suara rendah dan penuh tekanan) "Apa yang istimewa dari ruangan itu, Dokter?"

Direktur RS: (tersentak, mata berkedip cepat) "Itu... itu hanya ruang isolasi biasa, Detektif. Sama seperti yang lain. Tidak ada yang khusus."

Tapi Rendra bukan detektif biasa. Matanya yang tajam menangkap setiap kedipan gugup, setiap gerakan tangan yang gemetar. Dia melihat bagaimana foto-foto di dinding seolah menghindari pandangannya, bagaimana jam dinding berdetak tidak teratur setiap kali ruang isolasi 15 disebutkan.

Rendra: (berdiri, berjalan mendekati jendela) "Biasa? Lalu mengapa tiga perawat mengundurkan diri bulan lalu karena 'alasan kesehatan' setelah bertugas di sana? Mengapa catatan medis pasien-pasien ini..." (dia menepuk-nepuk tumpukan berkas) "...selalu menyebutkan 'halusinasi melihat sesuatu di cermin' sebelum mereka menghilang?"

Dia membuka berkas teratas, menunjukkan foto seorang wanita muda dengan mata kosong. "Clara, 28 tahun. Ditemukan kembali seminggu kemudian di taman rumah sakit. Dia bisa berjalan lagi---padahal sejak kecil lumpuh. Tapi..." (dia membalik halaman) "...dia mengaku bukan Clara, dan menyebut nama yang tidak dikenal siapa pun."

Direktur RS semakin pucat. "Itu hanya... kebetulan."

Tapi Rendra sudah menemukan polanya. Setiap korban memiliki catatan tentang cermin. Setiap yang kembali adalah versi yang salah, biasanya lebih sempurna secara fisik, tapi hampa secara emosional, dengan mata yang terlalu gelap dan senyum yang terlalu simetris. Tapi hasil yang ia dapatakan pada hari itu bagi Rendra tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan yang ia korek dari Direktur RS. Masih banyak misteri yang ingin dia ungkap dari kasus ini. Ia bertekad untuk mengusutnya hingga tuntas.

Malam itu - Ruang Isolasi 15 - 23.45 WIB

Rendra menyelinap masuk setelah semua shift malam mulai. Udara di ruangan ini berbeda---lebih berat, lebih padat, seperti bernapas di dalam kuburan. Cermin besar itu berdiri di hadapannya, memantulkan bayangannya sendiri dalam cahaya bulan yang pucat.

Dia mendekat, memperhatikan bagaimana pinggiran cermin seolah berdenyut lembut, seperti sesuatu yang hidup. Permukaannya tidak memantulkan dengan sempurna---warnanya sedikit lebih pucat, bayangannya sedikit lebih lambat.

Rendra: (berbisik pada diri sendiri) "Apa rahasiamu?"

Lalu sesuatu yang membuat darahnya membeku terjadi. Bayangannya di cermin mengedipkan mata---padahal dia tidak melakukannya. Senyum tipis muncul di bibir bayangan itu, sebuah ekspresi yang tidak pernah ada di wajah Rendra.

Bayangan Rendra: (suara seperti rekaman yang diputar balik, berlapis dengan desis statis) "Kami tahu tentang pembunuhan yang kau sembunyikan, Rendra. Tentang mayat di kebun belakang rumahmu. Tentang istri yang kau kubur hidup-hidup."

Rendra mundur terhuyung, jantungnya berdebar kencang. Rahasia yang dia pendam selama lima tahun---sebuah kecelakaan yang menjadi pembunuhan---diketahui oleh... oleh apa?

Rendra: (gemetar, tangan meraiah pistol di pinggang) "Siapa... apa kamu?"

Bayangan Rendra: (melangkah mendekati dari balik cermin, wajahnya mulai berubah---menjadi lebih tajam, lebih dingin) "Kami adalah versi terbaik dari kalian. Versi tanpa penyesalan, tanpa rasa bersalah. Versi yang pantas menguasai dunia ini."

Bayangan itu sekarang menempel di balik kaca, tangan hantunya menekan dari sisi lain.

Bayangan Rendra: (suara sekarang jelas dan menusuk) "Dan kami ingin keluar. Kami sudah terlalu lama terperangkap di sini, menonton kalian menghancurkan diri sendiri dengan kelemahan-kelemahan kalian."

Rendra melihat sekeliling dan menyadari dia tidak sendirian. Di dalam cermin, di belakang bayangannya sendiri, puluhan wajah mulai muncul. Wajah-wajah pasien yang hilang, tapi dengan mata yang sama gelapnya, dengan senyum yang sama tidak wajar.

Bayangan Rendra: (mengetuk kaca dari dalam) "Bantu kami keluar, Rendra. Dan mungkin... kami akan membiarkanmu mengganti istrimu di dunia ini. Dia jauh lebih bahagia di sini, tahu?"

Di dalam cermin, seorang wanita muncul---istri Rendra yang sudah dia kubur lima tahun lalu. Dia tersenyum, tapi matanya kosong, dan di lehernya masih terdapat bekas tali yang membuat Rendra mual.

Rendra: (berteriak sambil lari keluar) "Tidak mungkin!"

Tapi suara bayangannya mengikuti, bergema di lorong kosong: "Kami tahu semua rahasiamu, Detektif. Dan kami akan menggunakan semuanya untuk keluar dari sini."

Pintu ruangan terkunci sendiri di belakangnya, dan dari dalam, Rendra mendengar suara tawa---tawa yang persis seperti suaranya sendiri, tapi lebih dingin, lebih gila.

Dia baru saja membuka kotak Pandora. Dan sekarang, sesuatu yang jauh lebih buruk dari bayangan telah terbebas.

BAB 5: TUKANG REPARASI YADI DAN KESALAHAN FATAL

Ruang Isolasi 15 - 16.00 WIB

Sinar sore yang kemerahan menyusup dari celah-celah pintu besi, memotong kegelapan ruang isolasi nomor 15 seperti pisau bedah. Yadi (35 tahun), tukang reparasi dengan lengan berotot dan tatapan skeptis, berdiri menghadap cermin raksasa itu. Bau antiseptik bercampur dengan aroma besi berkarat dan sesuatu yang lebih tua---seperti bumi basah dan kertas yang lapuk.

Yadi: (menggerakkan palu godamnya dengan gerakan berpengalaman)

"Cermin tua jelek ini harus dihancurkan! Lebih baik ganti dengan dinding beton."

Dia mengabaikan peringatan Dr. Aldo dan bisikan-bisikan para perawat tentang "keanehan" cermin ini. Bagi Yadi, ini hanya kaca tua yang perlu diganti.

Yadi: (mengangkat palu tinggi-tinggi)

"Sudah waktunya kau pensiun!"

Saat palu besinya menghantam permukaan kaca, sesuatu yang mustahil terjadi. Alih-alih pecah, cermin itu menyerap pukulannya seperti daging hidup. Retakan-retakan halus muncul, tapi bukan seperti kaca---lebih seperti jaringan kulit yang sobek.

Yadi: (mata membelalak)

"Apa---?"

Dari retakan-retakan itu, cairan merah pekat mulai mengalir. Bukan darah biasa---ini lebih kental, lebih gelap, dan mengeluarkan bau tembaga dan sesuatu yang manis yang membuatnya mual. Cairan itu mengalir membentuk pola-pola aneh di lantai, seperti simbol-simbol kuno.

Yadi: (mundur ketakutan)

"Ini tidak mungkin..."

Lalu suara itu datang---jeritan yang teredam, seperti ribuan orang berteriak dari dalam kubur. Jeritan itu bergema di ruangan kecil, memekakkan telinga.

Yadi: (suara tercekik)

"Tolong! Ada orang di dalam---!"

Dari retakan-retakan itu, tangan-tangan hantu mulai muncul. Bukan tangan manusia---jari-jarinya terlalu panjang, kukunya hitam dan runcing, kulitnya pucat seperti mayat yang sudah lama terendam air. Dua puluh, tiga puluh, mungkin lebih banyak lagi tangan-tangan itu meraih keluar.

Yadi: (berteriak sambil mencoba lari)

"BUKA PINTU! BUKA---!"

Tapi tangan-tangan itu sudah mencengkeramnya. Mereka menariknya dengan kekuatan yang tidak alamiah. Yadi merasakan tulang-tulangnya hampir remuk under tekanan.

Yadi: (jeritan terakhirnya teredam)

"TOLOOOO---!"

Dunia di sekitarnya berubah menjadi kabur. Dia tersedot masuk melalui retakan-retakan itu, seperti ditarik melalui lorong sempit yang terbuat dari kaca dan daging. Yang terlihat terakhir adalah wajah-wajah di balik cermin---wajah-wajah dengan senyum terlalu lebar dan mata tanpa cahaya.

Kemudian... keheningan.

Permukaan cermin bergetar seperti air, lalu menjadi tenang kembali. Retakan-retakannya menyatu sendiri, seperti luka yang sembuh ajaib.

Lalu, sesuatu mulai keluar.

Yadi-Palimpsest melangkah keluar dari cermin. Tubuhnya sama persis---sama tinggi, sama postur, sama pakaian kerja. Tapi ada yang salah. Senyumnya terlalu lebar, sampai-sampai sudut mulutnya hampir menyentuh telinga. Matanya---oh Tuhan, matanya---tanpa cahaya, seperti dua kancing hitam yang disematkan pada wajahnya.

Yadi-Palimpsest: (menggerakkan tubuh barunya dengan gerakan kaku, seperti boneka yang baru belajar menggunakan tubuh) "Dunia ini... perlu diperbarui."

Dia berjalan ke arah pintu, langkahnya terlalu ringan, hampir tidak bersuara. Sebelum keluar, dia menoleh sekali lagi ke cermin. Pantulannya tidak menunjukkan dirinya---tapi Yadi yang asli, terperangkap di balik kaca, wajahnya penuh terror, tangan-tapak tangannya menepuk kaca dengan putus asa.

Yadi-Palimpsest: (tersenyum lebih lebar lagi) "Jangan khawatir. Kami akan... membuat segalanya lebih baik."

Pintu tertutup dengan sendirinya. Di dalam ruangan yang sekarang sunyi, cermin itu kembali berkilau---seolah tidak pernah tersentuh. Tapi jika seseorang mendekat, mereka akan melihat jejak tangan berdarah kecil-kecil di permukaannya, dan mungkin mendengar suara tangisan yang sangat-sangat jauh dari dalam.

Dunia telah kehilangan seorang Yadi.

Dan mendapatkan sesuatu yang memakai wajahnya.

DUNIA TIDAK AKAN PERNAH SAMA LAGI.

BAB 6: KEBENARAN TENTANG SARAH DAN ASAL USUL CERMIN

Arsip RS Bawah Tanah - 20.00 WIB

Ruangan bawah tanah itu berbau apek campuran debu, kertas lapuk, dan sesuatu yang lebih tajam seperti ozone dan logam basah. Rak-rak besi berkarat menjulang hingga langit-langit rendah, dipenuhi berkas-berkas dalam kotak kayu yang lapuk dan map-map kulit yang retak. Dr. Aldo menyorotkan senter yang sinarnya terputus-putus, menari-nari di kegelapan seperti kunang-kunang yang sekarat.

Dia menemukan lemari besi tersembunyi di balik rak yang hampir rubuh. Gemboknya sudah berkarut, tapi terbuka dengan mudah---seperti baru saja dibuka seseorang. Di dalam, satu map tebal berlabel "INSIDEN 1975 - JANGAN DIBUKA".

Foto pertama yang keluar membuat nafasnya tersangkut. Sarah yang muda dan cantik, tapi dengan mata yang sudah kosong, seperti sudah tahu takdirnya. Laporannya ditulis dalam tulisan tangan yang tidak stabil, seolah ditulis oleh orang yang sedang ketakutan ekstrem:

"Hari ke-13 terperangkap di sini. Mereka tidak berhenti mengawasi. Bayangan-bayangan itu... mereka bukan pantulan. Mereka adalah kita yang terdistorsi, versi kita dari dunia paralel yang gelap. Dan mereka ingin mengambil alih dunia kita. Mereka bilang, dunia ini terlalu... cerah untuk mereka."

"Dr. Langit bukan ilmuwan gila---dia adalah penjaga gerbang. Cermin ini bukan buatannya dia hanya menemukannya. Sesuatu yang lebih tua, lebih jahat. Sesuatu yang haus akan jiwa."

"Mereka datang lagi. Aku mendengar mereka di balik kaca. Tuhan, tolong aku......"

Tulisan berakhir dengan coretan panjang seperti cakaran, dan tetesan darah yang sudah menghitam.

Aldo juga menemukan dokumen lebih tua---ternyata cermin itu ditemukan oleh Dr. Langit, ilmuwan era kolonial yang obsesif. Catatannya menunjukkan:

"Cermin ini adalah jendela ke dunia yang terbalik. Di sana, segala sesuatu adalah versi gelap dari kita. Mereka ingin keluar, dan kita adalah tiketnya."

Malam itu, dengan determinasi baru, Aldo memasuki ruang 15. Dia menghadap cermin---dan melihat Sarah yang asli terjebak di dalam, wajahnya masih muda seperti di foto, tapi matanya penuh kengerian abadi. Dia mengetuk kaca dengan putus asa.

Sarah: (suara teredam, seperti dari dalam air)

"Tolong aku! Aku terjebak di sini selama 48 tahun! Mereka... mereka akan mengeluarkan yang lain!"

Tiba-tiba, bayangan Aldo muncul di belakang Sarah, wajahnya terdistorsi, senyumnya terlalu lebar, matanya sepenuhnya hitam. Tangan bayangan itu mencekik Sarah dari belakang.

Bayangan Aldo: (suara bergema, seperti beberapa orang berbicara bersamaan)

"Kau berikutnya, Dokter. Bergabunglah dengan kami. Atau... kami akan datang menjemputmu."

Cermin itu mulai berdenyut, seperti jantung raksasa, dan tangan-tangan mulai merayap keluar dari permukaannya.

EPILOG: PORTAL YANG TIDAK PERNAH TERTUTUP

Keesokan paginya - 07.00 WIB

RS Jiwa Dharma nampak normal di bawah sinar matahari pagi. Tapi mereka yang jeli akan melihat perubahan kecil yang mengerikan:

Dr. Aldo sekarang lebih sering tersenyum tanpa alasan, dan matanya terkadang berkedip tidak sinkron. Ketika berjalan, langkahnya terlalu halus, seperti tidak menyentuh lantai.

Suster Gina bisa berjalan normal---tapi caranya berjalan terlalu sempurna, seperti boneka yang baru belajar berjalan. Kadang, dia terlihat berbicara dengan dinding seperti sedang mendengar sesuatu.

Detektif Rendra menutup kasus tanpa penjelasan, dan sekarang memiliki kebiasaan baru: selalu menghindari cermin. Di rumahnya, semua cermin ditutupi kain hitam.

Mang Ucup mengundurkan diri katanya bayangannya sekarang tinggal di rumahnya, dan terkadang mereka bergantian menggunakan tubuhnya. Tetangganya sering melihatnya berbicara dengan bayangannya sendiri di tengah malam.

Dan di ruang isolasi 15, yang sekarang ditutup permanen dengan segel besi, suara ketukan masih terdengar dari dalam cermin diselingi teriakan minta tolong yang hanya bisa didengar oleh mereka yang benar-benar mendengarkan. Siapa pun kamu jangan terlalu lama menatap cermin di kamar mandimu malam ini. Karena mungkin, bayanganmu sedang menantimu untuk bertukar tempat.

FADE TO BLACK.

SUARA BISIKAN DARI DALAM CERMIN:

"Kami akan menemukanmu. Kami akan menjadi dirimu. Dan dunia ini akhirnya akan menjadi milik kami."

Mister Cermins masih menyimpan kekuatan dan menukar jiwa yang menginginkannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun