"Sa masih lapar Kakak," rintih Doni memegang perutnya yang berbunyi nyaring. Malam sangat dingin menyapa kamar tidur yang kami tempati. Suasana temaram karena lampu pelita semakin menggairahkan para cacing bermain orkes menyenandungkan irama kelaparan di dalam kampung tengah milik Doni, adikku.
"Apa ko bilang? Ko masih lapar? Apa ko lupa, sudah tiga biji roti beras ko makan belom bikin ko kenyang? Itu lambung apa karet ban yang ada dalam perutmu heh?" aku menggerutu panjang lebar. Kasur kapuk yang kupakai berbaring terasa sangat dingin bagaikan es. Mungkin karena kapuknya yang sudah menjadi remah sehingga tidak mampu lagi menahan panas. Kupandangi mulut Doni yang komat kamit di bawah sarung. Seingatku setelah salat Isya, anak ini telah memakan semua roti beras yang dikirim oleh Mama Rindang kemarin sore. Tidak dapat kusalahkan, cuaca dingin memaksa mulut selalu mencari sesuatu yang dapat dikunyah.
"Ihhh... mulut Kakak jahat. Sa belum kenyang kalo belum makan nasi. Ini semua roti beras sama remah-remahnya masih terapung dalam perutku," terdengar tangis Doni.
"....seandainya Mamak masih ada, pasti hidupku tidak begini. Mamak selalu masak enak-enak kek ikan pallumara, racca mangga, sayur tumis kangkung sama langga roko' (ikan teri bumbu kelapa parut dibungkus daun pisang dan dibakar). Sungguh tega Mamak tinggalkan Doni sendirian..." celoteh Doni seperti tidak ada habis-habisnya semakin membuat kepalaku puyeng.
"Hus... mengkhayal saja kau ini," aku bangun dari pembaringan dan membelalakkan mataku. Doni terdiam mendengar hardikanku. Perasaanku luar biasa cemas merasakan hawa dingin menusuk kulit. Pasti kampung ini telah tertutup kabut tebal yang turun dari gunung. Hujan deras sejak beberapa hari membuat suasana makin mencekam. Kampung kami berada di pinggir sebuah sungai besar yang menjadi sumber air bersih dan MCK (mandi, cuci, kakus). Jika turun hujan lebat, jembatan menuju kampung pasti terendam air sungai yang meluap. Sejak banyak hutan dibabat di bagian hulu, saat itulah dimulainya musibah untuk kampungku dan daerah sekitarnya. Luapan air sungai datang secara tiba-tiba pasti menghanyutkan apapun ditemuinya termasuk simpanan umbi-umbian yang masih berada di kolong rumah. Hal inilah yang terjadi pada keluargaku. Beberapa hari lalu aku baru saja memanen ubi jalar yang masih teronggok di dalam karung di kolong rumah panggung. Tempat itu hanya ditutup sebuah pintu bambu rapuh. Tanpa kuduga, air sungai meluap dan membawa hanyut karung berisi ubi jalar belum disortir. Rasa lelah menyebabkan aku membiarkan onggokan ubi jalar di kolong rumah dengan dalih akan mengangkutnya sedikit demi sedikit ke dapur. Apa hendak dinyana air bah membawa semua ubi jalar hasil panen. Uang tidak dapat, adikku juga merengek kelaparan karena tidak ada lagi yang dapat dimakan di dalam rumah.
Aku menghela nafas menahan rasa perih dalam perutku. Aku mencoba mengganjal perut dengan air minum namun terlalu banyak masuk cairan tanpa nutrisi  malah membuatku mual. Tampaknya kami harus bersabar menunggu redanya amukan hujan dan air sungai supaya dapat turun dari rumah. Saat Mamak masih ada, dapur selalu penuh bahan makanan mentah yang siap diolah sehingga tidak menimbulkan musibah kelaparan di dalam rumah Apa daya, keterbatasanku dalam mengelola bahan makanan dan dapur peninggalan Mamak membuatku merasakan penyesalan luar biasa mendalam. Aku sungguh membuang kesempatan emas tidak mau belajar mengelola bahan makanan dari  mendiang Mamak. Mau apa lagi? Nasi sudah menjadi bubur, Mamak telah pergi untuk selama-lamanya karena sakit paru-paru basah menahun yang dideritanya.
"Kakak...kakak...." terdengar rintih Doni berulang-ulang dengan suara parau. Aku membalikkan badan, memegang dahi adikku yang baru berumur 7 tahun. Ya Allah, kurasakan badannya sepanas bara. Kulihat butiran keringat dingin memenuhi dahinya. Badan Doni menggigil dan memanggil Mamak berkali-kali.
"Weee...kenapa ko Doni?" aku bertanya panik sambil meraba dahi Doni. Adikku seakan tuli, tidak merespon panggilanku. Aku melompat dari tempat tidur dan berlari menuju ke dapur. Aku mengambil baskom berisi air dan mencari kain di dalam lemari usang peninggalan Mamak. Segera  kukompres dahi Doni supaya turun panasnya. Namun upaya itu tidak membuahkan hasil nyata.
"Sabar ko Doni, kalo matahari terbit, Kakak pigi ke rumahnya Mama Rindang. Semoga dia punya obat kasih turun panas," ucapku sambil memegang dahi Doni yang membara.
Waktu berjalan sangat lambat. Tanpa sengaja, aku tidur sambil terduduk di samping Doni. Kupegang tangannya erat-erat untuk memberi semangat melalui malam mencekam. Hujan telah lama berhenti menyisakan rasa dingin dan harapan bahwa besok pagi air telah surut. Aku kembali tertidur. Saat kubuka mata, sinar matahari telah masuk melalui celah jendela. Segera aku turun dari peraduan dan berjalan menuju ke jendela dan membukanya. Tampak air sudah surut dan menyisakan lumpur menjijikkan di permukaan. Aku segera berlari ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Saat masuk kembali ke dalam kamar, segera kupegang dahi Doni yang masih terasa panas. Doni tertidur dengan wajah memerah. Sesekali kupandang wajahnya saat aku berpakaian.
"Ko diam dulu disini heh. Kakak mo pigi ke rumah Mama Rindang. Semoga dia punya obat untuk kasih turun panasmu," aku berjalan bergegas menuju ke pintu rumah, turun di tangga kayu dan setengah berlari menuju ke rumah panggung milik Mama Rindang yang berada di seberang jalan. Kuketuk pintu dengan nafas memburu.
"Siapa itu?" terdengar sayup-sayup suara perempuan. Lantai rumah panggung berderak memperdengarkan langkahnya.
"Ini saya, Amel..." kataku sambil mengetuk pintu itu. Tidak sabar rasanya hatiku ingin segera menemui Mama Rindang.Â
"Ko itu Mel? Ko punya muka pucat sekali? Sakitko kah?" Mama Rindang tampak terkejut melihat wajahku yang kuyu.
"Doni yang naik panasnya sejak tadi malam. Saya bingung mo dikasih minum obat apa. Saya hanya kompres dahinya saja pake air dari tempayan."
"Oh begitu. Tunggu sa liat dulu simpanan obatku, mudah-mudahan masih ada di dalam nah..." Mama Rindang segera masuk ke dalam dapurnya. Aku sibuk berdoa dalam hati mudah-mudahan masih ada obatnya biar sebiji untuk menolong Doni. Menit berlalu, aku masih duduk di atas lantai kayu beralas tikar. Kulayangkan pandangan ke jendela, masih kulihat mendung menggayut langit.
"Mel... ini ada obat dan ini ko bawa pulang nahhh..." Mama Rindang menyodorkan sebuah bungkusan yang masih terasa panas.
"Ehhh...apa ini Mama Rindang?" tanyaku penasaran.
"Mama baru masak bubur Manado lengkap sama dabu-dabu dan ikan kering. Kemarin dulu Om Tua bawa banyak sekali sayur dari kebun jadi kubikin bubur daripada bonyok semua. Kasih makan bubur adekmu baru kasih minum ini tablet- dua kali sehari," Mama Rindang menepuk bahuku dan mengantar sampai ke pintu.
"Ko pulang sekarang nah, mumpung itu bubur masih hangat. Nanti kasih kabar keadaannya adekmu."
"Iya Mama Rindang, terima kasih. Sa pulang dulu dihhh..." aku segera turun dari tangga rumah panggung.
"Hati-hati ko jalan, licin sekali itu lumpur dari sungai," teriak Mama Rindang di ujung tangga.
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar dari kejauhan. Orang-orang yang berada di jalan berteriak kaget. Dari arah ujung jalan yang terdapat gunung tandus terdengar gemuruh mengerikan. Rupanya datang lagi tumpahan air sungai dari hulu karena langit sedemikian gelap di bagian sana. Aku berteriak ketakutan saat menyeberang jalan. Aku harus tiba dengan selamat di rumahku. Kulihat orang-orang porak poranda lari menyelamatkan diri. Bergegas kumasuki pekarangan. Saat kakiku menjejak anak tangga pertama, deru air telah berada di bawah kolong. Aku menjerit berlari ke atas tangga menyelamatkan diri. Sendal jepit usang yang kusimpan di kaki tangga terbawa hanyut oleh air yang menggila. Aku mengucapkan doa syukur karena sudah berada di rumah saat air bah datang. Tidak dapat kubayangkan bagaimana nasib orang yang masih berada di jalan. Kulihat bungkusan bubur Manado panas dalam pelukanku dan bungkusan obat dalam kantong plastik.
"Aman sudah mereka ini," ucapku dalam hati.
"Doni, kamu harus minum obat ini supaya cepat sembuh," kuberlari masuk ke dalam kamar menjumpai adikku dibarengi doa syukur karena tubuhku tidak terbawa air bah yang datang dadakan pagi ini (srn).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI