"Ko diam dulu disini heh. Kakak mo pigi ke rumah Mama Rindang. Semoga dia punya obat untuk kasih turun panasmu," aku berjalan bergegas menuju ke pintu rumah, turun di tangga kayu dan setengah berlari menuju ke rumah panggung milik Mama Rindang yang berada di seberang jalan. Kuketuk pintu dengan nafas memburu.
"Siapa itu?" terdengar sayup-sayup suara perempuan. Lantai rumah panggung berderak memperdengarkan langkahnya.
"Ini saya, Amel..." kataku sambil mengetuk pintu itu. Tidak sabar rasanya hatiku ingin segera menemui Mama Rindang.Â
"Ko itu Mel? Ko punya muka pucat sekali? Sakitko kah?" Mama Rindang tampak terkejut melihat wajahku yang kuyu.
"Doni yang naik panasnya sejak tadi malam. Saya bingung mo dikasih minum obat apa. Saya hanya kompres dahinya saja pake air dari tempayan."
"Oh begitu. Tunggu sa liat dulu simpanan obatku, mudah-mudahan masih ada di dalam nah..." Mama Rindang segera masuk ke dalam dapurnya. Aku sibuk berdoa dalam hati mudah-mudahan masih ada obatnya biar sebiji untuk menolong Doni. Menit berlalu, aku masih duduk di atas lantai kayu beralas tikar. Kulayangkan pandangan ke jendela, masih kulihat mendung menggayut langit.
"Mel... ini ada obat dan ini ko bawa pulang nahhh..." Mama Rindang menyodorkan sebuah bungkusan yang masih terasa panas.
"Ehhh...apa ini Mama Rindang?" tanyaku penasaran.
"Mama baru masak bubur Manado lengkap sama dabu-dabu dan ikan kering. Kemarin dulu Om Tua bawa banyak sekali sayur dari kebun jadi kubikin bubur daripada bonyok semua. Kasih makan bubur adekmu baru kasih minum ini tablet- dua kali sehari," Mama Rindang menepuk bahuku dan mengantar sampai ke pintu.
"Ko pulang sekarang nah, mumpung itu bubur masih hangat. Nanti kasih kabar keadaannya adekmu."
"Iya Mama Rindang, terima kasih. Sa pulang dulu dihhh..." aku segera turun dari tangga rumah panggung.