"Arrrrghhhhhh....." Mak jejeritan bagai kesurupan di tengah sawah. Air matanya bercucuran deras bagaikan bendungan jebol. Lantaran lengkingan suara Mak, ratusan burung pemakan padi terbang terburu-buru dari sawah di sekitarnya. Kumpulan burung itu membentuk kumpulan awan gelap di angkasa, terbang berputar-putar dalam harmoni dan mendarat serempak di sawah yang dirasakan aman untuk tempat makan.
"Padiku hancur..." Mak jatuh terduduk di tengah sawah menangisi tanaman yang porak poranda. Hatinya hancur melihat puluhan batang tanaman patah dengan malai berhamburan di tanah yang mulai mengering. Tajamnya paruh burung pemakan padi mengakibatkan bulir padi rontok, tangkai malai patah dan daun compang camping. Mak memandang tidak percaya orang-orangan buatannya berdiri lemas di tengah sawah. Kaleng berisi batu berbunyi saat tertiup angin seakan membisu seribu bahasa mendengar erangan Mak meratapi padinya yang rusak. Burung pemakan padi itu telah menjadi bencana untuk kampung kami dan daerah sekitarnya. Kedatangan rombongan burung kelaparan menghancurkan tanaman padi siap panen seakan memaksa Mak untuk menabuh genderang perang. Tidak dihiraukannya lagi cericit riuh beberapa ekor burung pemakan padi yang nekad hinggap menikmati ceceran padi gratis berada di dekat Mak. Apalah daya, perut lapar hewan tanpa logika mendorongnya melakukan tindakan berbahaya tanpa memikirkan akibatnya. Kupandangi penuh rasa marah sekawanan burung kecil berwarna coklat terlihat sangat cekatan mengisi lambungnya dengan padi hasil kerja keras ibuku tercinta.
"Kita harus bagaimana Mak?" tanyaku hati-hati. Kulihat wajah keriput Mak memerah karena marah dan sedih. Matanya berapi-api dengan jemari menghunjam tanah. Tidak dipikirkan lagi kain sarungnya yang menyerap air dari genangan kecil di sela tanaman padi. Mak menangis sesenggukan meratapi padinya yang hancur.
"Kita harus panen sesegera mungkin."
"Bagaimana caranya Mak? Padi kita belum matang sempurna."
"Panen sekarang atau tidak sama sekali. Burung-burung ini sudah banyak sekali jumlahnya. Kita akan kalah cepat jika membiarkan padi tetap tinggal di sawah."
"Tapi Mak....kita akan..." aku masih ingin membantah argumen Mak.
"Tidak mengapa kalau kamu tidak mau membantu Mak," perempuan yang kupanggil Mak segera berdiri. Dia mengambil sehelai karung plastik bekas yang selalu berada dalam tas yang dibawanya. Mak membuka mulut karung lebar-lebar dan menyabit batang padi yang berada di dekatnya.
"Aku tidak akan terkalahkan olehmu, hai perusak tanaman padiku....." teriakan Mak menggelegar ke segala penjuru. Sebuah pekikan mengajak perang untuk burung yang telah merusak tanaman padinya.
"Sudahlah Mak, sini kubantu menyabit padi," aku segera mengeluarkan sabit dari keranjang yang berada di pundakku. Sudah kulupakan rasa laparku setelah melihat air mata Mak mengalir melihat sawahnya hancur. Kami menyabit sisa batang padi yang masih dapat diselamatkan. Adikku yang bernama Enah berinisiatif memungut ceceran butir padi yang berada di pematang sawah. Semua butiran padi itu ditaruh dalam roknya yang berubah fungsi menjadi keranjang kain penampung padi. Aku bergumam kagum melihat kreativitas adikku menyelamatkan hasil kerja keras kami selama berbulan-bulan yang lalu.