Terlupakannya esensi utama dalam beragama membuka berbagai celah eksploitasi terhadap ritual-ritual dan simbol keagamaan yang kemudian dianggap lebih penting dibandingkan esensi utama dalam beragama. Hal ini dikarenakan oleh metode pembelajaran keagamaan yang terlalu menekankan ritual dan menumbuhkan 'ego'.
Pengikut ajaran yang menganggap ritual dan simbol lebih penting menjadi lebih mudah dikendalikan oleh 'simbol-simbol' keagamaan tanpa mempertanyakan korelasinya dengan esensi utama agama.
Hasilnya, siapapun yang tidak mengenakan simbol-simbol yang sama dan menjalankan ritual yang sama, dianggap sebagai pribadi yang bertentangan dengan agama, sekalipun pribadi ini lebih dekat dengan esensi utama agama.
Dalam pandangan seorang pengikut ajaran yang salah kaprah, kelulusan seorang siswa kemudian lebih ditentukan oleh cara belajar dan baju seragamnya dibandingkan dengan nilai akhir dalam ujiannya -- yang tentunya ditentukan oleh lebih banyak komponen nilai.
Dalam sistem demokrasi dimana para pengikut ajaran mempunyai hak politik, simbol-simbol agama menjadi alat yang sangat efektif untuk menggerakan masa -- terutama pengikut ajaran yang menganggap 'baju seragam' dan 'metode belajar' lebih penting dibandingkan komponen nilai yang jauh lebih berkaitan dengan tujuan agama untuk mendorong terciptanya keadilan sosial.
Kenapa bisa salah kaprah?
Baju seragam dan metode belajar adalah hal yang paling mudah dilihat dibandingkan dengan komponen nilai yang sesungguhnya. Seorang siswa mungkin hanya bisa menilai atau mengira-ngira kemampuan siswa lainnya dari aktivitas-aktivitas yang diadakan didalam kelas, tetapi hanya guru lah yang bisa mengetahui kemampuan dan performa siswa secara menyeluruh.
Ego manusia untuk merasa 'paling' membuat manusia punya tendensi untuk selalu membandingkan dirinya dengan orang lain. Perbandingan ini tentunya paling mudah dilakukan terhadap hal-hal yang kasat mata, seperti simbol dan ritual.
Metoda 'kejar pahala' tanpa paham esensi dari ritual kemudian menyebabkan siswa menganggap bahwa ritual adalah segala-galanya tanpa mengindahkan esensi utama dari beragama.
Tulus atau tidak?