Mohon tunggu...
Lidya Sophiani
Lidya Sophiani Mohon Tunggu... -

"Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal" (QS. Az-Zumar [39]: 18). ---------------------------------------------------------------------- “Believe nothing, no matter where you read it, or who said it, no matter if I have said it, unless it agrees with your own reason and your own common sense.” - Buddha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Esensi dalam beragama

28 Februari 2019   18:58 Diperbarui: 1 Maret 2019   00:55 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penekanan berlebihan terhadap simbol agama dapat mengaburkan esensi ajaran.

Ketiga ibadah ini ibarat 'pekerjaan rumah' supaya pengikutnya lebih pandai dalam mengendalikan keinginan dan egonya, dan mampu berempati sehingga mendorong terciptanya kesetaraan dalam kehidupan bermasyarakat. 

Sayangnya, kurangnya pemahaman dan metoda pembelajaran yang kurang sesuai telah mengaburkan tujuan utama dari ajaran-ajaran Ibrahim. 

Penekanan yang salah terhadap ritual dan simbol-simbol keagamaan telah mengaburkan tujuan utama dari turunnya ajaran-ajaran Ibrahim. Alih-alih menutup kesenjangan dan menciptakan rasa keadilan sosial, penekanan yang berlebihan terhadap ritual membuat penganut ajaran lupa bahwa tujuan utama beragama bukanlah 'mengumpulkan sebanyak-banyaknya pahala'  (yang pada hakikatnya merupakan salah satu manifestasi ego manusia untuk menjadi yang 'paling') tetapi untuk menurunkan egonya demi kemaslahatan bersama. 

Penekanan terhadap ritual membuat pengikut ajaran terfokus pada hal hal yang bersifat teknis dan simbolis yang sejatinya bukan suatu tujuan utama dalam beragama, melainkan suatu metoda pembelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih sesuai dengan arahan ajaran.

Apakah ritual menjadi satu-satunya alat? Tentu saja tidak. 

Apakah ritual menjadi salah satu penentu? Ya. 


Siswa yang lebih rajin belajar dan mengerjakan PR lebih besar kemungkinannya untuk lulus ujian dibandingkan mereka yang tidak belajar. Tapi apakah setiap siswa hanya boleh belajar dengan satu cara? Bisa saja cara belajarnya (ritualnya) berbeda-beda, tapi pada akhirnya mereka mampu mencapai satu pemahaman yang sama sehingga mampu lulus ujian walaupun cara belajarnya berbeda.

Menjadi suatu hal yang mengkhawatirkan sekaligus menyedihkan ketika kemudian orang-orang yang mengaku 'beragama' menunjukan 'egonya' dan merasa 'paling' karena merasa lebih sering melakukan ritual atau lebih sering menunjukan simbol keagamaan. 

Memang betul kalau rajin mengerjakan pe-er lebih besar kemungkinannya untuk lulus ujian, tapi apa kemudian siswa yang rajin mengerjakan pe-er patut 'haqqul yakin' siswa lain yang terlihat malas-malasan tidak akan lulus? Tau darimana kalau ternyata siswa ini mengurus orangtuanya yang sakit di rumah dan tidak punya waktu untuk mengerjakan pe-er? 

Lebih menyedihkannya lagi... bukankah seharusnya siswa yang lebih rajin merangkul siswa yang terlihat 'malas-malasan' alih-alih mengeksklusifkan diri merasa diri lebih pantas lulus?

Lalu kemana perginya esensi utama dari beragama apabila baru sampai ritual saja sudah merasa sombong dan berbangga diri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun