ولما جعل اللّه تعالى إبراهيم عليه السّلام أسوة حسنة للمؤمنين في تبرّئه من الكفّار وفي كلّ مقالاته استثنى اللّه منها استغفاره لأبيه المشرك, وقد بين الله تعالى ذلك في قوله: ﴿قَدْ كَانَتْ لَكُمْ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِيْٓ اِبْرٰهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهٗۚ اِذْ قَالُوْا لِقَوْمِهِمْ اِنَّا بُرَءٰۤؤُا مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۖ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاۤءُ اَبَدًا حَتّٰى تُؤْمِنُوْا بِاللّٰهِ وَحْدَهٗٓ اِلَّا قَوْلَ اِبْرٰهِيْمَ لِاَبِيْهِ لَاَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَآ اَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ شَيْءٍۗ .......﴾ (الممتحنة: ٤), وذلك لأنّ استغفار إبراهيم عليه السلام لأبيه كان عن وعد سابق على المنع وعده إياه, فلما تبين له أن أباه عدو للّه تبرأ منه. (هداية القرآن في تفسير القرآن بالقرآن ج٢ ص١٥٥ – دار النبراس)
Dan ketika Allah Ta'ala menjadikan Nabi Ibrahim AS sebagai teladan yang baik bagi orang-orang beriman (dalam hal berlepas dirinya dari orang-orang kafir dan dalam semua ucapannya) Allah mengecualikan dari teladan itu bagian ketika Ibrahim memohonkan ampun bagi ayahnya yang musyrik, dikarenakan hal ini tidak boleh ditiru yang mana sudah jelas tentang larangan memohonkan ampun bagi orang musyrik.
Allah menjelaskan hal itu dalam firman-Nya:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِيْٓ اِبْرٰهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهٗۚ اِذْ قَالُوْا لِقَوْمِهِمْ اِنَّا بُرَءٰۤؤُا مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۖ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاۤءُ اَبَدًا حَتّٰى تُؤْمِنُوْا بِاللّٰهِ وَحْدَهٗٓ اِلَّا قَوْلَ اِبْرٰهِيْمَ لِاَبِيْهِ لَاَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَآ اَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ شَيْءٍۗ ...... (٤)
"Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada kaumnya, "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari (kekafiran)-mu dan telah nyata antara kami dan kamu ada permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." Kecuali perkataan Ibrahim kepada ayahnya, "Sungguh, aku akan memohonkan ampunan bagimu, namun aku sama sekali tidak dapat menolak (siksaan) Allah terhadapmu........" (QS. Al-Mumtahanah [60]: 4)
Hal itu karena permohonan ampun Ibrahim kepada ayahnya dilakukan sebelum adanya larangan, karena ia telah berjanji kepadanya. Namun setelah jelas bahwa ayahnya adalah musuh Allah, maka Ibrahim pun berlepas diri darinya.
Betapa agungnya Al-Qur'an dalam menjelaskan sebuah kisah secara lengkap dan mendetail, meskipun ayat-ayatnya tersebar di berbagai surah yang terpisah. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa Al-Qur'an adalah mukjizat yang luar biasa, tidak hanya dari segi bahasa, tetapi juga dalam keutuhan makna dan kesempurnaan penyampaiannya. Tafsir Hidayah al-Qur'an menampilkan hal tersebut dengan sangat rinci, di mana satu ayat dijelaskan melalui ayat-ayat lain yang saling berkaitan, sehingga membentuk rangkaian kisah yang utuh dan penuh hikmah.
Kisah Nabi Ibrahim AS dalam ayat-ayat ini menggambarkan keseimbangan yang sangat indah antara kasih sayang dan keteguhan akidah. Beliau adalah sosok yang sangat lembut, penyantun, dan penuh cinta terhadap keluarganya bahkan kepada ayahnya yang menolak kebenaran. Namun, ketika kebenaran wahyu menegaskan bahwa ayahnya adalah musuh Allah, Nabi Ibrahim tidak ragu untuk menempatkan prinsip tauhid di atas rasa emosional.
"Dari kisah ini kita belajar, bahwa kasih sejati adalah yang berlandaskan kebenaran, sedangkan kebenaran sejati selalu kembali kepada Allah."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI