Kisah Sang Pelukis Tanpa Warna
Di kota yang dijuluki "Pelangi Abadi," Elio adalah anomali. Ia melihat segalanya dalam gradasi abu-abu, sebuah layar hitam putih di tengah pesta warna yang meriah. Sementara penduduk lain memuja sinar mentari kuning keemasan, bagi Elio itu hanyalah tingkat kecerahan abu-abu yang tertinggi.
Namun, ia adalah pelukis. Dan ia memiliki rahasia.
Elio terlahir buta warna, tetapi ia dianugerahi Sinestesia Taktil. Ia tidak melihat warna, tetapi ia merasakan emosinya saat menyentuh pigmen atau benda berwarna. Merah terasa seperti denyutan marah yang panas, biru terasa seperti keheningan yang dingin, dan kuning-ah, kuning biasanya terasa seperti kehangatan yang jujur.
Oleh karena itu, Elio hanya melukis dengan arang dan abu. Ia menyebutnya "Warna Kebenaran" karena, baginya, warna yang dilihat mata hanyalah tipuan belaka; kebenaran ada pada emosi yang tersentuh.
Pagi itu, sebuah gulungan perkamen tiba dari istana. Raja Vex, penguasa yang selalu tampil sempurna dengan jubah emas dan senyum lebar yang dipuji seisi negeri, memintanya melukis potret resmi. Ini adalah kehormatan tertinggi dan, Elio tahu, tantangan terbesarnya.
Tiba di istana, mata Elio hanya menangkap kemewahan abu-abu. Namun, tangannya dipenuhi sensasi tak tertahankan. Permadani karpet yang ia injak berteriak-teriak penuh kesombongan, tirai sutra yang ia sentuh terasa dingin seperti janji yang kosong.
Raja Vex duduk di singgasana, jubahnya dihiasi emas yang berkilauan. "Pelukislah aku, Elio," titah Raja dengan suara penuh percaya diri. "Lukiskanlah keagungan dan kebahagiaan yang kaulihat."
Elio mengangguk. Ia mulai menyentuh kuas arangnya, lalu perlahan mendekati jubah Sang Raja. Ia menutup mata dan meletakkan telapak tangannya di pinggiran kain emas yang mewah itu.
Biasanya, warna emas yang terbuat dari pigmen kuning murni akan mengirimkan kehangatan dan sukacita ke kulitnya. Namun, sentuhan ini berbeda.
Tangan Elio langsung ditarik oleh sensasi kekosongan yang dingin, diikuti oleh getaran ketakutan yang tersembunyi jauh di bawah permukaan. Itu bukan kebahagiaan. Itu adalah kepalsuan yang dingin.