Mohon tunggu...
Sofia Grace
Sofia Grace Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang ibu rumah tangga yang hidup bahagia dengan suami dan dua putrinya. Menggeluti dunia kepenulisan sejak bulan Oktober 2020. Suka menulis untuk mencurahkan isi hati dan pikiran. Berharap semoga tulisan-tulisan yang dihasilkan dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surga Hanya di Telapak Kaki Ibu? (2)

17 September 2022   10:06 Diperbarui: 17 September 2022   10:11 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sementara itu Ratna, ibu Icha, mencurahkan keluh-kesahnya pada Burhan, suami yang sangat mengasihinya.

"Icha itu benar-benar anak kurang ajar. Berani-beraninya sampai sekarang dia masih menentangku. Dia sepertinya masih menyimpan dendam karena waktu kecil tidak kuperhatikan. Jadi meskipun aku sudah berusaha menebus kesalahanku dengan memintamu mentransfer sejumlah uang padanya setiap bulan, hatinya tak luluh juga. Lalu aku harus bagaimana agar dia mengerti bahwa ibunya ini sungguh-sungguh menyesali kesalahannya di masa lalu?"

Tangisan wanita itu menyeruak. Dirinya mengakui bahwa waktu Icha masih kecil, dia lebih mencurahkan perhatiannya pada Cahyo. Entah mengapa hati Ratna langsung terpaut pada anak laki-laki satu-satunya itu begitu bocah itu lahir ke dunia. Ditambah dengan sikap Cahyo yang sangat penurut sejak kecil. Anak itu parasnya juga ganteng dan lucu dengan pipinya yang chubby. Jauh berbeda dengan kakak perempuannya yang tinggi kurus, berwajah muram, dan tidak menarik.

Sorot mata Icha sering memancarkan perasaan tidak terima jika ditegur oleh ibunya. Ratna jadi terpancing emosinya dan sering menyakiti anak sulungnya tersebut. Pukulan dan makian sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Icha semasa kecil dan remaja. Hal itu ternyata berdampak buruk pada kepribadian gadis itu.

Anak itu menjadi tertutup dan kurang percaya diri. Teman-temannya bisa dihitung dengan jari. Tak jarang Icha mendapatkan verbal bullying di sekolah. Baru ketika kuliah gadis itu mulai dapat mengekspresikan dirinya dengan mengikuti berbagai kegiatan di kampus. Kepribadiannya mengalami perkembangan dan dirinya mulai menjalin kedekatan dengan Markus yang sekarang menjadi suaminya.

Perlakuan Ratna terhadap anaknya itu juga menjadi sedikit lebih baik. Dia senang melihat Icha mulai percaya diri dan merawat kecantikannya. Tidak seperti dulu yang bagaikan pembantu jika berjalan berdampingan dengan ibunya.

Suatu ketika terjadi pertengkaran besar di antara mereka. Icha mengungkapkan semua luka batinnya selama dia masih kecil hingga remaja.

"Ibu tak pernah memberiku kesempatan untuk memilih!" seru Icha waktu itu. "Baju, tas, sepatu, dan sandal Icha selalu Ibu yang pilihkan. Setiap kali aku memilih model yang kusukai, Ibu selalu bilang jelek, seperti barang murahan. Jadi akhirnya Icha terpaksa menyetujui pilihan-pilihan Ibu. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki! Setiap kali Icha berada di toko untuk membeli sesuatu, yang ada di benak Icha adalah apakah Ibu akan menyetujui pilihan Icha, ya? Setelah aku dewasa, akhirnya kusadari bahwa hal itu tidak sehat. Tidak sehat!"

Mendengar kenyataan itu dibeberkan di hadapannya, Ratna melongo. Dia sejujurnya sudah lupa-lupa ingat apa saja yang terjadi di masa lalu. Benarkah dia tak pernah memberi Icha kesempatan untuk memilih barang-barang yang disukainya?

"Ibu juga selalu mencampuri pertemanan Icha. Ibu selalu menyindir teman-teman Icha miskin semua, tidak ada yang punya mobil seperti teman-teman anak tetangga. Kalau teman-teman menelepon ke rumah, Ibu sering bilang Icha sibuk, tidur, atau alasan-alasan lainnya supaya mereka tidak bisa ngobrol dengan Icha di telepon."

"Masa Ibu melakukan semuanya itu, Icha? Ibu tidak ingat sama sekali."

"Ibu memang selalu tidak ingat hal-hal buruk yang Ibu lakukan. Kalau pembantu di rumah memasak dan tidak ada yang menghabiskan, Ibu selalu mengomel. Icha akhirnya terpaksa menghabiskan makanan itu demi menyenangkan hati Ibu. Padahal aku sebenarnya sudah kenyang dan tidak begitu menyukai makanan itu. Tapi Ibu tak peduli. Yang Ibu pikirkan hanya perasaan diri sendiri. Orang lain tak boleh menyakiti hati Ibu, tapi kalau Ibu yang melakukannya sah-sah saja."

Plakkk! Tamparan Ratna mendarat di pipi anak perempuannya itu. Tak peduli Icha sudah dewasa dan mempunyai anak, Ratna masih merasa berhak memukul putrinya itu jika bersikap kurang ajar terhadap dirinya.

Demikianlah sejumlah pertengkaran antara dirinya dengan Icha selalu berkelebat dalam benak Ratna setiap kali mengalami gesekan kembali dengan putri yang seolah-olah menjadi musuh bebuyutannya itu.

"Apa sebenarnya salahku sampai mempunyai anak sedurhaka Icha, Burhan?" tanya wanita itu pada suaminya.

Burhan menghela napas panjang. Dalam hati pria itu sebenarnya tak menyalahkan putri mereka. Selama hidup puluhan tahun bersama Ratna, telah terjadi banyak pertengkaran yang pelaku utamanya adalah istrinya itu sendiri sedangkan lawannya bisa bergonta-ganti. Entah itu dirinya sebagai suami Ratna maupun Icha, anak sulung mereka. Juga tak jarang Ratna berseteru dengan ibu dan kakak kandungnya sendiri. Pernah juga dengan saudara sepupu maupun kakak iparnya.

Dan seperti biasa Burhan dan Icha-lah yang menjadi keranjang sampah untuk menampung segenap kekesalan dalam hati Ratna. Barangkali karena itulah Icha sering merasa tidak kuat menghadapi emosi ibunya. Kalau hepi, dirasakan sendiri. Tapi kalau sedang ada masalah, dibagi-bagi ke orang lain. Siapa yang mau?

Burhan tahu seiring dengan berjalannya usia, sang istri sikapnya sudah lebih membaik dibanding sewaktu muda dulu. Barangkali kedewasaan wanita itu sudah mulai berkembang. Tak jarang kalau menerima perkataan yang kurang enak dari orang lain, Ratna tak menyemprotnya balik. Dia sudah mulai bisa menahan diri untuk tidak bersikap emosional. Tapi ternyata hal itu terpendam sedikit demi sedikit dalam hatinya. Ketika sudah mencapai puncak, dia akan memuntahkannya pada siapapun yang sedang berbicara dengannya. Biasanya orang yang menjadi sasaran adalah Burhan dan Icha.

Cahyo, anak laki-lakinya, sejak dulu jarang dimarahi. Dia memang merupakan anak kesayangan Ratna. Siapapun tahu tentang hal itu. Namun hal itu berubah ketika Cahyo menikah dan tinggal satu atap dengan orang tuanya. Pasangan pemuda itu dulunya membuat Ratna terpesona akibat berasal dari keluarga terhormat dan lulusan terbaik sebuah universitas ternama. Pekerjaan istri Cahyo itu juga cukup bergengsi, yaitu dosen tetap di almamaternya. Sekarang wanita itu naik jabatan menjadi dekan fakultas ekonomi di universitas tersebut.

Sayangnya kerukunan Ratna dengan menantunya tak bertahan lama. Ada saja sikap dan perilaku istri Cahyo yang dianggap sebagai kekurangan oleh wanita itu dan melukai hatinya. Istilah kerennya sekarang adalah Ratna itu orang yang baperan. Apapun yang terjadi dalam hidupnya dipikirkan dan dirasakan dengan berlebihan, terutama dari segi negatifnya. Barangkali karena wanita itu tak pernah bergaul dengan orang-orang lain di luar keluarganya sendiri. Jadi pikirannya kurang terbuka akibat wawasan yang tidak berkembang.

Ini kesalahanku juga, batin Burhan mengakui. Aku selalu menghalang-halangi Ratna untuk bertemu dengan teman-temannya dulu semasa sekolah. Aku takut istriku akan mendapatkan pengaruh buruk dari orang lain. Aku cemas dia akan membanding-bandingkan hidupnya dengan hidup orang lain yang dari luar kelihatan lebih baik dibandingkan dirinya. Semula siasatku itu berhasil. Tapi ujung-ujungnya ternyata sama saja. Zaman sekarang media sosial merambah ke mana-mana. Ratna bisa dengan mudah mengaksesnya melalui HP. Dia akhirnya melihat dan mengetahui juga hal-hal yang dulu kuanggap bisa merusak mentalnya. Dan dampaknya tak jarang fatal juga. Aku dan Icha yang sering menjadi bulan-bulanan emosinya. Sekarang Cahyo juga menjadi korban akibat ibunya tidak cocok dengan istrinya.

"Kamu tuli ya, Burhan?!" tegur Ratna kasar. "Aku bertanya padamu dari tadi kok tidak dijawab? Makanya rajin-rajin korek kuping supaya bisa mendengar dengan jelas!"

Burhan menghela napas panjang. Seperti biasa disabar-sabarkannya hatinya untuk menghadapi ucapan-ucapan menyakitkan sang istri. Nanti pelan-pelan akan dinasihatinya Ratna tanpa nada menggurui. Hanya itulah cara yang selama ini dilakukannya demi mempertahankan rumah tangganya.

Bagaimanapun juga Burhan adalah tipe pria kolot yang malu jika perkawinannya ketahuan bermasalah. Lebih baik dia menghadapi caci-maki atau bahkan pukulan istrinya dengan sabar daripada harus menceraikan perempuan itu dan menghadapi kenyataan bahwa dirinya telah gagal menjadi seorang kepala rumah tangga.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun