Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen.Soetiyastoko | Tanah di Ujung Doa:

11 Oktober 2025   18:05 Diperbarui: 11 Oktober 2025   18:05 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemilik Villa di California  yang dibeli orang Indonesia.Dok.Pri.

Maka kisah ini pun dimulai --- antara tanah dan tahta, antara amplop dan amal, antara korporasi yang rakus dan Brodin -seorang petani yang masih percaya bahwa keadilan tak bisa dibeli di kantor Bupati.

BAGIAN I --- Kaum "Pokok'e" dan Lurah Penuh Janji

Desa Kedungreja mendadak viral. Bukan karena prestasi, tapi karena kasus "tanah kementerian yang hilang ingatan."
Menurut versi pejabat, tanah Brodin adalah tanah negara yang "tiba-tiba lupa bahwa dia milik negara".

Menurut Brodin, tanah itu warisan bapaknya dari zaman karung goni masih jadi mode sultan.
Menurut Camat, "pokok'e milik negara, titik."
Dan di situlah tragedi dimulai---dari kata "pokok'e" yang disembah melebihi dalil dan data.

Brodin datang ke balai desa dengan BPKB sepeda motor, sertifikat tanah, bukti bayar pajak PBB, dan surat waris.
Namun Lurah menatapnya dengan gaya pejabat sinetron: senyum ramah tapi mata hitung-hitungan.
"Pak Brodin, kami ini kan cuma menjalankan perintah atasan. Kementerian sudah beli tanah ini lewat korporasi besar. Ada tanda tangannya, ada materainya."
"Lha, mana buktinya?" tanya Brodin.
"Masih diurus."
"Sejak kapan?"
"Dua puluh tahun lalu."
Brodin terdiam. Kalau diurus dua puluh tahun tak kelar, itu bukan proyek tanah --- tapi proyek keabadian.

Belakangan Brodin dengar kabar, si korporasi membayar "konsultan lokal" alias para begundal desa.

Tugas mereka sederhana: teriak "pokok'e milik negara!" sambil ngopi gratis di warung.
Setiap kali Brodin datang menegur, mereka tertawa sambil menepuk pundaknya,
"Wis, Din, ndak usah serius amat. Rejeki itu ngikut proyek, bukan ngikut doa."

Di sinilah era Post-Truth benar-benar jadi tontonan rakyat.
Fakta sudah kalah gaya dari hoaks.
Bukti kalah pamor dari broadcast WhatsApp.

Yang bicara keras dianggap benar, yang bawa dokumen dianggap nyinyir.
Kebenaran pun berubah jadi lomba teriak paling lantang.

Sementara itu, Bupati mulai rajin muncul di televisi.
"Pembangunan ini adalah untuk rakyat!" ujarnya, dengan senyum selebar baliho.
Tentu saja rakyat yang dimaksud bukan Brodin, tapi pemilik korporasi yang baru saja membelikan beliau villa di California, lengkap dengan bonus simpanan cantik berpaspor Eropa, umur 21 tahun.

Sementara rakyat desa cukup dapat brosur CSR dan ucapan "terima kasih atas dukungan masyarakat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun