Â
Cerpen  |  Tanah di Ujung Doa: Kisah Brodin, Lurah, dan Villa di California
(Sebuah satire sosial-politik yang disampaikan dengan gaya kocak dan ironis)
DikToko                   (Soetiyastoko)
PROLOG
Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, tanah bukan lagi milik petani.
Ia jadi papan catur tempat para raja kecil dan para dalang beradu kepentingan.
Sawah, ladang, dan bukit yang dulu hijau---kini penuh papan bertuliskan "Proyek Strategis Nasional", padahal yang strategis hanyalah jalan menuju rekening pribadi.
Brodin, lelaki kurus berkulit legam itu, tak paham soal surat sertifikat atau istilah BMN---Barang Milik Negara---yang kini dijadikan jimat baru oleh korporasi dan para pejabat.
Yang ia tahu, tanah itu bukan sekadar harta.
Itulah tempat ibunya dikuburkan, tempat bapaknya berjuang melawan lapar, tempat anak-anaknya belajar menyemai mimpi.
Tanah itu darah.
Tanah itu doa.
Namun zaman berubah.
Keadilan kini mirip sandal jepit di pelataran masjid: sering hilang saat paling dibutuhkan.
Lurah, Camat, dan Kapolres berbaris rapi di belakang proyek yang katanya "demi pembangunan", sementara amplop coklat berpindah tangan di malam-malam sunyi, jauh dari mata rakyat, tapi dekat dengan mata Tuhan.
Dan Tuhan --- seperti biasa --- hanya diam, tapi mencatat segalanya.
Di hari ketika ekskavator pertama menggigit bibir sawah Brodin, langit seolah murung.
Bukan karena awan, tapi karena doa-doa orang kecil mulai tenggelam di lumpur kekuasaan.
Brodin berdiri di tepi lahan, menggenggam segenggam tanah dan berbisik pelan:
"Ya Allah, jika ini ujian, beri aku sabar. Tapi jika ini kezaliman, tunjukkan kuasa-Mu."