Mereka yang mendapat amanah sesamanya pun, memanfaatkan posisinya, untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Tinggallah makna taqwa, berubah jadi sekedar lipstik, pemerah bibir.
Padahal sangat diketahui, taqwa itu adalah lorong, koridor, jalan lurus yang sejak lama diketahuinya.
Dari paragraf terakhir, dimaklumi bahwa untuk bisa mengikuti proses. Mematuhi perintah dan mentaati laranganNya, diperlukan sabar. Kesabaran.
Tetangga, sepeda motornya ganti, naik kelas. Kelihatannya gaya dan menyenangkan, tiba-tiba jadi tidak sabar. Ingin segera punya yang setara, kalau bisa yang yang lebih tinggi kelasnya.
Dana belum ada, tidak sabar ! Dilakukanlah cara-cara maksiat. Bisa dengan riba atau mencuri uang kantor dengan menjual kebijakan. Gilanya, mengajak teman-teman.
Biar sama-sama tahu, sama-sama mengamankan diri. Bila sampai ketahuan, .... Â Masak, sih, ..... Â Semua dipecat dan dipenjarakan.
Eee, ujung-ujungnya pada mejeng bersama pakai rompi oranya. Pose-nya, melebihi bintang sinetron. Mirip konferensi pers para rocker, jelang konser.
Prilaku yang sama, namun terjadi dibidang pendidikan pun semakin mewabah.
"Nyontek" dikalangan murid hingga guru besar, bedanya sebutannya jadi "plagiat". Mengutip sebagian dari isi buku, hingga seluruhnya diklaim sebagai tulisannya sendiri.
Dilakukan demi berbagai hal, mulai dari memenuhi persyaratan akademis, kenaikan pangkat, prestis bahkan uang. Lahirlah buku pegangan, kumpulan kutipan. Tanpa penjelasan, bahwa itu dikutip dari buku siapa dlsb.