Mohon tunggu...
Ade'Yukie Soentanie
Ade'Yukie Soentanie Mohon Tunggu... pengarang -

pengarang novel Jalan Takdir, Nol Ketemu Satu. aktivis Himpunan mahasiswa Islam (HmI). kontak: 082193429719 email: Soentanie@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burung-burung pun Berbatuk

20 Desember 2015   08:17 Diperbarui: 20 Desember 2015   12:47 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ayah... Maafin anaknya yaa...” Ucap ibu.

“Ayah maafin aku yaa.” Kataku seusai ibu.

Ayah tidak berkata apa-apa. Ayah hanya terdiam. Dan tak ada lagi marah dan bentakan yang keluar dari mulutnya. Aku dan ibu menunggu ayah untuk berucap memaafkanku. Tapi ayang tidak bicara sedikit pun. Ayah terdiam, aku terdiam, ibu terdiam. Aku menunggu ayah bicara, ayah masih menahan bicaranya, ibu menatap ayah dengan kepolosannya yang indah. Lalu tak lama kemudian ayah baru angkat bicara.

“Anakku, mengapa kamu tega melepaskan dua ekor burung Nuri, yang ayah bawa dari Irian? Mengapa?” Tanya ayah.

Aku tak dapat menjawab pertanyaan ayah yang masih sama itu. Karena aku hanya diam membisu. Ayah lanjut bicara lagi.

“Tahu kamu? Kenapa ayah sangat marah denganmu, anakku. Ayah ini merasa sangat berdosa sekali. Sangat-sangat berdosa. Dosa ayah sangatlah besar sekali. Yaa... Setelah kamu melepaskan burung-burung itu dari sangkarnya.”

“Kenapa bisa ayah?” Tanyaku bingung.

“Anakku, kamu lihat! Kamu lihat sendiri kamu kita ini. Lihat baik-baik. Lihat dengan mata hatimu. Lihat anakku. Apa yang kamu lihat dan saksikan? Sudah kamu tahu kan anakku? Hutan-hutan sudah rata tanah, digantikan dengan gedung-gedung berkaca, berlantai-lantai tingkat tinggi. Kamu tahu? Beberapa tahun, kampung kita ini tidak pernah sedikit pun kedatangan banjir yang sampai menghilangkan korban jiwa, rumah roboh dan jalan amburadul. Kalau sudah tidak ada hutan, lalu burung-burung yang kamu lepaskan dari sangkarnya itu akan kemana?”

“Tapi kan ayah, mereka masih bisa ke kota.”

“Bodoh! Kamu ini apa tidak punya mata? Kamu lihat sendiri kehidupan di kota seperti apa?” Kata ayah.

“Anakku sayang... Burung-burung itu mau ke kota untuk apa? Tidak perhatikan burung-burung yang tinggal di kota seperti apa kehidupannya? Burung-burung yang tinggal di kota semuanya menderita. Dan mereka semakin kecil. Bagaimana tidak mau kecil. Toh udara di kota itu sangat mengganggu kesehatan setiap makhluk hidup. Lagian di kota juga pohon-pohan untuk mereka singgahi juga tidak ada. Maksudnya, tidak ada memberikan makanan buat mereka. Yang ada sama seperti yang akan dilaksanakan nanti di kampung kita ini, satu-dua hari lagi. Yaa pembangunan yang tidak manusiawi. Kalau gedung-gedung berlantai-lantai yang di bangung. Apa ia, burung-burung itu ke kota dan mencari makan di sana? Anakku sayang... Burung-burung tidak pandai korupsi. Burung-burung hanya tahu makan, tidur, berak dan terbang sana-sini. Menjadi khiasan bumi pertiwi ini. Langit juga semakin mendung. Lama-lama burung-burung pun berbatuk.” Ibu menerangkan padaku. Aku berdoa, kudoakan dua ekor burung Nuri itu, biar selamat. Ayah masih bersedih. Memikirkan perbuataanku dan perbuatannya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun