Salah satu petinggi perusahaan ternama berterus terang, "Bang Zul, saya adalah lulusan Universitas Terbuka."
Ia sudah terjun ke dunia profesi sejak baru lulus sekolah menengah atas, dan sempat merasa tipis kemungkinan melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Terlebih, jadwal kerjanya pun tak selurus pegawai umumnya.
Di situlah ia akhirnya menemukan Universitas Terbuka, dan ia pun memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di sana. "Dulu, saya sempat mengira kampus ini terlalu gampang. Nyatanya, di sini, keharusan untuk belajar tak ada bedanya dengan kampus lainnya. Rajin belajar bisa dapat nilai bagus. Asal-asalan belajar, juga cuma dapat nilai asal-asalan."Â
***
Kesempatan belajar. Agaknya tak berlebihan jika menyebut Universitas Terbuka menjadi kampus yang lebih konsisten dibandingkan kampus umumnya dalam membuktikan konsep yang tak sekadar konsep; belajar seumur hidup.Â
Mereka tak menjadikan batas usia untuk menerima atau tidak seseorang yang mau belajar. Sepanjang mereka berniat belajar, mereka membuka pintu lebar-lebar. Semua bisa belajar di sana.Â
Tak banyak kampus yang membuka pintu selebar kampus Universitas Terbuka itu, meski akademisi di semua kampus paham tentang pendidikan. Ini yang membuat reputasi kampus itu pun semakin jadi perhatian, hingga berbagai kalangan usia dan profesi tak gengsi untuk menyebut dirinya sebagai mahasiswa kampus itu atau mengaku sebagai lulusan Universitas Terbuka.Â
Maklum, di dunia pendidikan tanah air patut diakui, kampus kerap kali jadi ajang bisnis, mahasiswa membayar mahal namun tak belajar apa-apa. Pola pikir hingga pengetahuan tak berkembang. Hanya mendapatkan gengsi, namun tak benar-benar membuat dirinya berisi.Â
Universitas Terbuka, mengacu ke teman-teman saya sendiri, justru berhasil menjadi figur-figur intelektual yang mumpuni dari gemblengan kampus itu. Bahkan tetap bisa meraih posisi-posisi penting di perusahaannya, karena di kampus itu mereka terkondisikan untuk benar-benar belajar. Bukan sekadar mendapatkan gelar, namun menemukan jalan untuk mengakrabi ilmu pengetahuan hingga terus bisa berkembang di usia berapa pun.Â
Kampus itu menjadi antitesis dari tren anomali dunia kampus. Anomali bahwa banyak lembaga pendidikan justru menyekat diri dari kesempatan belajar. Universitas Terbuka menabrak tren itu. Persis kritikan Bhuwan Thapaliya dalam "Our Nepal, Our Pride" yang membidik pendidikan yang kerap kali hanya menjadikan pelajar tak bisa menikmati perjalanannya dalam belajar, kecuali sekadar jadi mesin kesuksesan.Â