Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Surga Tak Lagi di Kaki Ibu (Kedua)

28 Januari 2024   23:02 Diperbarui: 28 Januari 2024   23:12 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Shutterstock

Redo tahu, jika saja tangisnya keluar, hanya bikin semangat ibunya semakin menyala untuk memberinya rasa perih yang lebih perih lagi. Jadilah ia menahan tangis sekuat ia bisa, meski tak bisa menahan sesenggukan yang tetap saja keluar meskipun sudah diusahakan.

"Kalian ini bagusnya dari kecil dicekik sampai mampus saja. Hidup kalian cuma bikin aku semakin susah saja!"

Inilah umpatan yang keluar berulang-ulang setiap kali perempuan yang kini memiliki tiga anak itu murka. Ya, ia perempuan yang sangat mudah meledak. Amarahnya seperti jerami kering yang bisa dengan gampang tersulut meskipun hanya dengan api kecil.

***

Royani, nama perempuan yang sudah menjadi ibu di usia belasan itu, nyaris tak pernah tahu bagaimana menahan amarahnya. Baginya, sepanjang amarah itu datang, saat itu juga harus ia luapkan daripada hanya menjadi beban.

Inilah kenapa, anak-anak itu bagi Royani adalah hiburan. Ada semacam perasaan puas setiap kali meluapkan amarah itu, dan melihat ketiga anaknya bergiliran menjadi sasaran amukan. 

Ketiga anak itu; Redo, Abdo, dan Kenanga, nyaris tak tahu bagaimana bisa tersenyum, apalagi untuk tertawa seperti anak-anak lainnya. Sebab, yang bisa menghibur sang ibu adalah tangisan mereka, tangisan tertahan, sesenggukan, dengan wajah polos tak berdaya. 

Tawa anak-anak itu tak terlihat lucu di matanya. Justru tangisan kesakitan mereka yang menjadi hiburan buat perempuan yang merasa sebagai penguasa hidup anaknya, karena dialah yang melahirkan anak-anak itu.

"Sakitnya kalian ini belum apa-apa dibandingkan sakitku saat melahirkan kalian!" menjadi kalimat yang entah berapa kali diulang-ulang, di depan anaknya setiap kali mereka menjerit kesakitan. Tak peduli apakah mereka paham atau tidak arah kata-katanya itu.

Ia seperti hantu bagi anak-anaknya. Setiap kali sorot mata marahnya memancar, anak-anak yang sejak balita dipenjara oleh ketakutan, tak bisa bergerak. Mereka tak bisa lari untuk sekadar membebaskan diri dari amukan sang ibu, kecuali hanya diam, menunggu pukulan ibunya datang, dan berakhir dengan suara mengerang atas rasa sakit diberikan Royani.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun