Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Siang Menantang di Stasiun Commuterline Tanah Abang

29 Agustus 2023   13:53 Diperbarui: 30 Agustus 2023   12:10 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masinis bersiap menjelang keberangkatan KRL (Foto: Z.A)

Di tengah hari seperti ini, Stasiun Tanah Abang yang biasanya lekat dengan keramaian yang seolah tanpa henti, justru terlihat lebih sepi. Petugas keamanan tak terlihat terlalu tertekan dibandingkan saat peron dipenuhi penumpang yang turun naik. Mereka mungkin sedikit terbeban hanya dengan seragam di badan, lantaran suhu Jakarta sedang panas-panasnya, dan pakaian dikenakan terasa terlalu tebal.

Anak-anak tangga di stasiun yang sudah menjelang usia 124 tahun itu lebih lengang dibandingkan biasanya. Tapi, lengang di Tanah Abang pastinya tidak seperti gedung kosong yang benar-benar ditinggal penghuni. Tetap masih ada banyak orang datang atau pulang, lalu kembali lengang.

Stasiun ini memang tidak akan pernah benar-benar sepi, kecuali tukang jual kopi di bagian luar yang tak jauh dari pintu keluar masuk. Sepi begitu bisa menjadi beban tersendiri baginya yang sesekali menatap dengan harap akan ada orang yang datang memesan kopi sachet yang cuma seharga 5 ribu dan disajikan dengan gelas plastik.

Dari penjual kopi, pedagang pakaian, hingga pedagang apa saja memang kerap bepergian hingga menggantungkan hidup dari stasiun yang telah berdiri dari tahun 1899 ini. Apalagi memang stasiun ini berada persis di sisi pusat grosir terbesar di Asia Tenggara. 

Di stasiun ini juga tak jarang siapa pun bisa bersua dengan orang dari negara tetangga atau bahkan wisatawan dari negara-negara Eropa.


Tak pelak, Tanah Abang ini menjadi stasiun yang juga menjembatani geliat ekonomi hingga pariwisata. Bahkan bisa dipastikan, sebagian besar penggunanya tidak lepas dari kepentingan ekonomi; untuk bekerja, mencari nafkah, dan menghidupi ratusan ribu keluarga.

Jadi, di balik rupa-rupa pemandangan di Tanah Abang, tempat ini juga menjadi tempat terpenting untuk pejuang rupiah, untuk mencari nafkah tanpa peduli soal lelah. Maka itu, di dalamnya akan gampang saja bersua masyarakat Badui yang datang dari Lebak, Banten, atau ibu-ibu pedagang kaki lima yang menggendong bungkusan dagangan yang terkadang lebih besar dari tubuh mereka.

Namun pemandangan-pemandangan seperti inilah yang bikin Stasiun Tanah Abang selalu menarik. Stasiun ini, jika diibaratkan cerita, maka ia adalah cerita tentang orang-orang berjuang, yang mau jatuh bangun dan terus mau bergerak tanpa membiarkan diri berlama-lama larut dalam perasaan terjatuh.

Setiap kali melihat orang-orang mengayunkan langkah di sini, maka akan terasa adanya gairah dari setiap ayunan langkah itu. Gairah atas hidup yang pasti akan merekah buat mereka yang tak takut untuk berlelah-lelah, dan tak mau menenggelamkan diri dalam keluh kesah. 

Salah satunya adalah Farchan Noor Rachman. Ia adalah pengguna setia Commuterline atau KRL, untuk berangkat bekerja atau ke kampus tempat ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi.

Ia kerap berada di Stasiun Tanah Abang dan berbagai stasiun lainnya yang menjadi tujuan. Sesekali ia membagikannya di media sosial, dari pemandangan sekitar stasiun hingga tingkah polah orang-orang yang berlalu lalang di sana.

Terbilang sangat jarang ia berkeluh kesah, kecuali sesekali menyentil kebiasaan-kebiasaan sesama penumpang, yang sebagian terlalu grusa-grusu dan melupakan kepatutan. Hanya itu yang sering menjengkelkan baginya. 

Selebihnya, ia lebih sering merekam pemandangan yang menggembirakan baginya. Walaupun, Stasiun Tanah Abang ini terbilang jarang didatanginya, kecuali sesekali di perjalanan yang memang mengharuskannya melewati tempat ini. Tapi ke mana saja ia pergi, KRL menjadi salah satu transportasi andalannya. 

Apalagi ia pun pernah menjajal KRL tak hanya di seputaran Jabodetabek, melainkan juga hingga ke Jogja-Solo. Ia menilai, dengan segala pengalamannya menjajal KRL, suasana di Jogja-Solo masih belum apa-apa dibandingkan di Jakarta, terlebih di Tanah Abang.

Namun ke mana saja bepergian, dan di mana saja KRL ia jajal, ia selalu terlihat antusias. Maka itu, nyaris setiap kali ia mengunggah foto atau video perjalanannya dengan KRL rata-rata mampu memantik diskusi dan perhatian banyak pengguna media sosial.

Sebut saja saat ia mengunggah foto di KRL Jogja-Solo, mampu mencatat impresi hingga 32 ribu. Belum lagi saat ia membuka obrolan dengan salah satu wakil rakyat untuk menjajal stasiun di dekat Tanah Abang, Stasiun Palmerah, bahkan mencatat impresi hingga 317 ribu.

Ya, kecintaan besarnya itu tak hanya di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri. Ia mau tetap menggunakan kereta sejenis KRL, seperti Metro Trains Melbourne. Pengalaman di sana pun pernah dibagikannya ke media sosial.

Suasana di Metro Trains Melbourne, KRL ala warga negeri tetangga di Australia (Foto: Farchan)
Suasana di Metro Trains Melbourne, KRL ala warga negeri tetangga di Australia (Foto: Farchan)

"Cerita dikit soal Metro Trains Melbourne ya. Ini mirip KRL kalau di Jabodetabek, connecting suburb ke City," ceritanya, seraya menunjukkan foto di lokasi. "Ini di Stasiun North Melbourne pas gangguan, rame-rame pindah peron untuk ganti kereta. Padahal gangguannya nggak lama, cuma tujuh menitan delay..."

Ia menggambarkan juga bahwa di Metro Melbourne ini kursi di dalamnya pun berhadapan, dan sepeda juga boleh masuk ke dalam kereta. "Jadi yang commuting bisa bawa aja sepedanya," ceritanya lagi. Walaupun ini juga di Indonesia juga diperbolehkan untuk sepeda lipat, lantaran pertimbangan kenyamanan penumpang lain.

Dalam catatannya, kalaupun ada larangan keras di Metro di negeri tetangga itu adalah mabuk dan duduk sembarangan. 

Pembayarannya pun, ada kemiripan dengan di Jakarta dan semua kawasan yang sudah ada KRL. Di Melbourne juga ada kartu Myki, sejenis Kartu Multi Trip (KMT), dan bisa digunakan di seluruh area Melbourne dan seluruh publik transport, dari kereta hingga bis. 

Ini tentu saja mirip juga dengan KMT yang juga bisa digunakan hingga ke LRT (light rail transit atau lintas rel terpadu). Bagi pemilik media sosial efenerr ini, semua perbedaan dan kesamaan, baginya menjadi kegembiraan tersendiri.

Farchan terbilang khatam dengan segala kondisi di stasiun dan di dalam KRL, karena kesehariannya setia menggunakan transportasi umum, dari KRL hingga MRT. Maka itu, pemandangan di Tanah Abang pun bukan lagi pemandangan baru baginya, terlepas ia tak terlalu sering bepergian dari stasiun ini.

Petugas kebersihan telaten membersihkan kereta setiap kali tiba di stasiun pemberhentian akhir - Foto: Z.A
Petugas kebersihan telaten membersihkan kereta setiap kali tiba di stasiun pemberhentian akhir - Foto: Z.A
Namun ia menjadi salah satu potret pengguna KRL yang berasal dari kalangan terpelajar, yang sekaligus mendidik dirinya dengan berbaur dengan segala lapisan masyarakat. Belajar dari realitas yang ia temukan sehari-hari di transportasi umum. Maka itu, segala pemandangan yang terlihat seperti di Stasiun Tanah Abang, baginya adalah buku pelajaran tersendiri yang juga ia baca sehari-hari.

Ya, Stasiun Tanah Abang, sebagaimana stasiun lainnya, bukan hanya sekadar tempat naik turunnya penumpang Commuterline. Di sini adalah tempatnya jutaan ayunan langkah yang membawa mereka ke jutaan harapan dalam hidup masing-masing.

Tanah Abang adalah tempat untuk mereka yang tak pernah mau begitu saja menyerah, terlepas hidup terkadang bikin mereka hampir kalah. Mereka terus mengayunkan langkah, kalaupun hampir kalah, mereka meyakinkan diri bahwa ini belum benar-benar kalah. 

Maka itu, meskipun di balik sebagian wajah terbersit resah atau bahkan guratan lelah, mereka terus mengayunkan langkah. Mereka menaiki tangga demi tangga stasiun, lalu melanjutkan perjalanan ke banyak tempat yang dirasa ada jalan rezeki di sana, atau memang bekerja sehari-hari di sana. 

Stasiun Tanah Abang bukan hanya sekadar tempat transit, untuk orang datang, berpindah peron, berganti kereta. Di sini adalah sekolah hidup yang selalu mengajari mereka tentang banyak hal. Salah satunya, sepanjang terus bergerak selambat apapun pasti akan membawa mereka ke stasiun hidup yang mereka impikan.*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun