Atau, mereka memang sebenarnya mendambakan kondisi di mana semua serba mudah karena siapa saja bisa menyuap apa saja sepanjang mampu. Mungkin juga mereka merindukan masa-masa di mana korupsi bisa dilakukan dengan enteng, karena dengan korupsi itu pula atasan di berbagai perkantoran bisa menangguk untung besar.Â
Kalau melihat gelagat, dua-duanya mungkin.Â
Satu, bahwa mereka memang benar-benar lupa dengan apa yang pernah terjadi di sebuah era bernama Orde Baru di mana tahta ada di keluarga Cendana. Ditambah lagi mereka lebih menyukai mendengar tukang-tukang sembur ludah di panggung-panggung berbungkus agama daripada membaca dan menggali apa saja yang pernah terjadi di negeri ini.
Mereka lebih memilih mendengar orang-orang yang mencapai taraf sebagai "tokoh" berkat kelihaian menipu, hingga mereka sendiri pun membiarkan diri tertipu. Ditambah lagi dengan perasaan malas untuk menggali, mencari, dan menemukan kebenaran yang acap tersembunyi di buku-buku yang banyak tidak terbit lagi, hingga menanyakan ke tokoh-tokoh yang tepat dan memang sudah melewati pergumulan hebat di masa lalu.
Orang-orang malas ini lebih suka mengiyakan apa yang dititahkan oleh sederet penipu ulung yang dimiliki keluarga Cendana, yang setia berdiri di belakang calon presiden ini. Alhasil mereka begitu yakin bahwa dengan tubuh besar dimiliki junjungan mereka ini sudah pasti akan mampu membawa kesejahteraan besar untuk mereka. Padahal tidak pernah ada dalam sejarah bahwa keluarga Cendana ini membiarkan mata air kesejahteraan mengalir deras ke bawah, kepada rakyat jelata.
Adanya, jika ada yang menghalang-halangi mata air yang memanjakan kerakusan mereka itu maka dapat dipastikan dimampuskan tanpa bisa dicegah atau dilindungi kekuatan hukum. Sebab titah merekalah yang menjadi hukum. Perintah siapa di atas tahtalah yang menjadi Undang-Undang.

Ini yang tak leluasa mereka lakukan ketika kepemimpinan berada di tangan seorang lelaki kurus bernama Joko Widodo. Pasalnya, pria kurus ini dianggap terlalu sok berani menghalang-halangi langkah mereka. Pria ceking ini sudah membuat mereka tak lagi seleluasa "zaman keemasan" untuk menangguk untung dan mengisap apa saja isi perut Ibu Pertiwi.
Apalagi sosok ceking tadi bahkan membiarkan anaknya sendiri bekerja dan hidup sendiri, hingga melarang mereka membawa-bawa nama bapaknya yang menjadi Kepala Negara untuk bisa bekerja. Kepada anak-anaknya, ia menyuruh bekerja dan bekerja.
Bekerja ini yang justru ditolak keras oleh mereka yang masih merindukan kembalinya Orde Baru. Buat apa bekerja jika dengan membawa nama keluarga saja bisa kaya raya. Buat apa berkeringat hingga basah kuyup, jika dengan menjual nama keluarga bisa mendapatkan apa saja dari siapa saja tanpa ada yang bisa menghalanginya.Â
Maka itu, mereka lebih memilih merindukan "zaman keemasan" ala keluarga Cendana, sebagai pelajaran dari mertua Prabowo Subianto. Ini pula yang hingga kini mereka perjuangkan, agar masa-masa keemasan itu bisa kembali. Soal jutaan orang yang kelak gigit jari, siapa peduli.