Sekarang makin terlihat ada sekelompok orang yang punya mimpi aneh. Alih-alih membawa Indonesia bisa berlari ke depan, justru mengajak kembali ke belakang. Bahwa di belakang pernah ada sejarah berdarah atau bahkan kegelapan mengerikan, dipoles begitu rupa agar banyak orang mau melihat itu sebagai zaman keemasan.
Padahal, jika dipikir-pikir, kalaupun menyebut itu sebagai zaman keemasan, maka yang mendulang emas tak jauh-jauh dari lingkaran keluarga Cendana. Sementara rakyat kebanyakan, masa itu tak bisa bersuara meski gaji guru tidak cukup untuk sebulan, tentara hanya dibiarkan hidup dengan kebanggaan dan perasaan gagah, dan rakyat kebanyakan mengais rezeki terengah-engah tanpa bisa menyuarakan kepada siapa-siapa.
Benar, itu zaman keemasan. Namun memang hanya mereka yang dekat-dekat dengan kekuasaan saja yang bisa membanggakan tumpukan emas yang mereka punya. Sementara di luar itu, untuk mencari maskawin pun harus merangkak ke sana ke sini, boro-boro bisa merasakan bahwa itu adalah zaman keemasan.
Di zaman keemasan itulah seorang Prabowo Subianto bisa menikmati hidup tak ubahnya surga. Sebab negeri ini berada di tangan mertua.Â
Sekarang, tampaknya ada nostalgia bagi sosok ini sehingga begitu keukeuh ingin menjadi presiden, tanpa peduli pantas tidaknya seseorang yang punya sejarah berdarah-darah dan terbiasa hidup mewah memimpin ratusan juta rakyat yang pernah disengsarakan orang-orang di lingkarannya.
Ia semakin tak peduli rekam jejaknya yang tidak lepas dari rezim serakah yang pernah ada dan bercokol lebih dari tiga dekade itu. Sebab ada sekelompok penipu ulung, di mana serigala bisa memasang wajah ulama, maling bisa bertopeng dermawan, yang siap mendukungnya dan mau melakukan apa saja.
Para penipu ulung itu memang memiliki kemampuan menyihir. Berkat sihir mereka, ada banyak orang terpengaruh hingga lupa bahwa ada kelakuan sebuah keluarga yang pernah hampir meruntuhkan negeri ini karena keserakahan dan kesewenang-wenangan.Â
Sihir mereka terlalu kuat. Saking kuat, maka yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman panjang di dunia politik pun bisa turut ambil bagian membantu proses penipuan, agar semakin banyak orang melupakan kebobrokan yang nyaris merontokkan republik ini.
Basa-basi bahwa zaman mertuanya (baca: bekas mertua) semua serba murah dan terjangkau, adalah dongeng yang disuguhkan ke depan banyak orang yang memang memilih pelupa atau bahkan memilih pura-pura lupa ingatan hingga sepenuhnya tidak ingat apa-apa.
Mereka tidak lagi mengingat bagaimana zaman itu untuk bersuara saja tidak leluasa. Mereka sama sekali menolak mengingat bagaimana untuk mengkritik pemerintah bisa berisiko kematian, hilang dan hanya tinggal nama. Mereka betul-betul dibuat tak lagi sadar bahwa zaman itu, untuk benar-benar kaya hanya bisa diraih dengan keculasan, kecurangan, kemauan melakukan hal-hal keji seperti suap-menyuap.