Boleh jadi ini kesimpulan saya yang mengada-ada saja. Namun memang jika mengulik lebih jauh, ada banyak narasi yang dibangun jika mengulik bagaimana mereka menyuarakan acara reuni tersebut. Satu sisi dibangun narasi bahwa ini adalah aksi membela agama, wujud cinta kepada agama, hingga dipandang sebagai gerakan mujahid yakni orang yang sedang berjihad.
Dalam Islam, jihad itu menjadi satu bab khusus karena saking serius dan mulianya "ibadah" tersebut. Begitu juga gelar mujahid, dimuliakan secara khusus dalam Alquran, "Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah." Itu tertulis di Surat At-Taubah.
 Masalahnya, acara itu sendiri memang sangat kental dengan narasi-narasi politis. Orang-orang yang diberikan kepercayaan untuk berbicara pun adalah figur-figur yang sudah terkenal sebagai pembela militan capres yang memarahi wartawan tadi.Â
Jika mereka yang datang ke sana untuk mendengar tokoh pendukung Prabowo bicara disebut sebagai mujahid, sebenarnya pantas juga untuk diberikan lagi beberapa pertanyaan.
"Emang Prabowo adalah tokoh Islam?"
"Emang Prabowo sangat mewakili umat Islam?"
"Apakah Prabowo memang orang yang betul-betul melaksanakan semua perintah Islam, setidaknya yang diperintahkan dalam Rukun Islam?"
"Apakah membela Prabowo sama dengan membela Islam?"
"Seberapa jauh sih keberpihakan Prabowo kepada umat Islam sejak ia masih di militer hingga ia diberhentikan dari dunia militer?"
Tunggu saudara-saudara. Di sini saya sebagai pemilik sepuluh jari yang menulis semua ini tidak memberikan jawaban. Cukup kembali pada kewarasan kita saja.Â
Apa hubungannya dengan pers? Ya, pers punya tanggung jawab. Bukan untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh orang yang ingin berkuasa. Pers bukan kalangan yang lahir dan tumbuh untuk sekadar menciptakan dan memperbesar sebuah kehebohan.Â