Bagi yang pernah mengunjungi Aceh dan sempat menyimak kebiasaan penduduk di sana, di beberapa perkampungan terutama di Aceh Barat ada keunikan tersendiri. Sebagian penduduk desa (gampong) memiliki ternak berupa kerbau yang acap disebut keubeu dan sapi (leumoe), dan dipelihara dengan cara melepasnya ke alam liar. Alhasil, di pantai hingga pinggir-pinggir sungai acap dengan mudah ditemukan ratusan kerbau berjemur hingga berendam. Kotoran kerbau-kerbau atau sapi ini pun akan ada yang memungutnya, terutama jika telah mengering.
Kotoran kerbau itu dikumpulkan penduduk yang berdiam di dekat sungai atau pantai, dan di tangan mereka, kotoran tersebut bahkan bisa menjadi pengganti kayu bakar. Aha, sekitar 10 tahun lalu, nyaris tak ada pengolahan tertentu untuk menyulap kotoran tersebut menjadi bahan bakar, kecuali ditempatkan begitu saja di sela-sela tungku selayaknya kayu bakar biasa untuk memasak.
Sering kali, menjelang sore para penduduk gampong akan mendatangi pinggiran sungai atau pantai yang acap didatangi kawanan kerbau tersebut, lengkap dengan karung, mereka mengumpulkan tumpukan-tumpukan yang telah mengering itu.
Pemandangan ini sering terlihat di pinggiran Pantai Meulaboh, Aceh Barat, di seputaran Suak Ribee hingga Suak Sigadeng, sampai ke Suak Timah. Jika Anda penasaran dengan tempat ini, setidaknya Anda tidak asing dengan sejarah Teuku Umar, dan pantai dimaksud juga menjadi lokasi di mana Teuku Umar menemukan ajalnya lewat peluru Belanda.
Tak hanya di sana, beberapa kawasan seperti Kecamatan Seunagan, Seunagan Timur, Beutong, hingga Kuala yang kini menjadi bagian Kabupaten Nagan Raya pun tak asing dengan kebiasaan tersebut. Terlebih di kawasan itu, berternak kerbau telah menjadi gengsi tersendiri sekaligus menjadi bagian simbol kesejahteraan. Bahkan, kekayaan penduduk gampong pun acap diukur dari berapa ekor kerbau yang mereka punya, dan makin banyak hewan ternak itu dimiliki sekaligus makin menaikkan gengsi mereka di mata masyarakat sekitarnya.
Itu juga yang sempat membuat kawasan barat Aceh pernah lengket dengan citra sebagai masyarakat yang gemar berternak, selain juga bertani, tentunya. Terlebih di era Soeharto, presiden kedua Indonesia ini pun pernah datang langsung ke Seunagan yang di era 1980-an menjadi salah satu sentra pertanian di Aceh--meski saat ini seiring perubahan zaman, areal persawahan yang ada di sepanjang Meulaboh menuju Beutong telah banyak hilang. Jika dulu sepanjang jalan lebih banyak terlihat persawahan, maka kini hanya ada rumah-rumah mentereng yang berdiri di pinggir jalan tepat di bekas-bekas sawah yang dulu pernah menjadi kebanggaan masyarakat di sana.
Itu hanya sebagai sebuah gambaran, adanya perubahan situasi dan alam di sana. Tak terkecuali kebiasaan mengumpulkan kotoran kerbau yang disulap menjadi "kayu bakar", sudah terbilang jarang dilakukan. Alih-alih mereka dapat mengolahnya lebih jauh menjadi biogas, untuk mendapatkannya pun makin sulit. Pasalnya, jika dulu strata sosial masyarakat terukur dari jumlah ternak dan sawah, kini mengikuti kelaziman cenderung diukur dari berapa kendaraan yang dimiliki seorang anggota masyarakatnya.
Eksesnya mudah ditebak, jika dulu orang-orang bersaing memelihara ternak dan merawat persawahan, belakangan sawah lebih banyak terjual dan kerbau pun makin berkurang. Alih-alih berpikir menambah jumlah kerbau dan ternak lainnya, pola pikir mereka pun cenderung terpola untuk menggantinya dengan mobil dan sepeda motor teranyar di halaman rumah. Sedikitnya, hal inilah membuat pemandangan di pinggir-pinggir sungai dan pantai jadi berubah jauh.
Seingat saya, ketika di berbagai tempat muncul berbagai gagasan pemanfaatan biogas sebagai energi alternatif, situasi di kawasan barat Aceh itu pun sudah makin berubah.Â

Bahkan dicatat oleh Acehnews.net, 29 September 2014, di awal langkah itu dilakukan di sana, setidaknya ada 20 reaktor biogas dari kotoran sapi, dua reaktor dari limbah pabrik tahu, dan satu reaktor dari kotoran manusia.
Patut dicatat, kenapa di Banda Aceh cenderung kepada pemanfaatan kotoran sapi, lantaran berbeda dengan kawasan Aceh Barat, di sentral provinsi itu sebagian penduduk lebih gemar beternak sapi dan juga mengonsumsi daging sapi.
Zulfadlie Kawom, tercatat sebagai salah satu intelektual muda Aceh yang pernah turut berkiprah mensosialisasikan pemanfaatan kotoran sapi untuk menciptakan gas dari kotoran. Lewat organisasi Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh-Pasee (JKMA-Pasee), ia pernah terjun ke perkampungan Seunuddon di Aceh Utara untuk menerapkan ide tersebut.
Zulfadhli mengenalkan gagasan itu ke penduduk setempat sejak akhir 2009, lantaran berangkat dari keyakinan bahwa dari 40 ekor sapi saja mampu menghasilkan hingga 200 watt listrik. Namun di Seunuddon kala itu, pihaknya cenderung mengenalkan alternatif itu hanya untuk kebutuhan memasak saja.
Dari berbagai sumber disebutkan jika satu-dua ekor sapi saja bisa menghasilkan energi setara 3,5 kg kayu bakar, atau 1,8 liter bensin, juga cukup untuk 4-5 kwh listrik, atau jika digambarkan kasar cukup untuk menggerakkan truk berbobot 3 ton sejauh 2,8 kilometer.Â
Sayangnya, di Aceh sendiri makin sedikit yang beternak kerbau dan sapi, dan pinggir-pinggir sungai dan pantai tak lagi seleluasa dulu melihat hewan-hewan ternak itu berjemur atau berendam di bawah terik matahari. Sulit bercerita lebih jauh lagi tentang ini.*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI