Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Catatan Perawan

31 Januari 2010   19:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:09 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

ilaahilastu lil firdausi ahla, walaa aqwa 'alannaaril jahiimi

[caption id="attachment_65561" align="alignleft" width="300" caption="Sentuhkan telapak tangan indahmu ke dadaku, kekasih (Gbr: Google)"][/caption] Al adawiyya, menatap langit membaca cinta. Saat itu langit menjadi roman terindah yang dibacanya. Bisri menulis berpucuk-pucuk surat cinta. Tetapi surat itu itu dilemparkan ke wajahnya oleh Al Adawiyya. "Bagaimana aku mencintaimu, sedangkan aku sudah penuh berikan hati ini pada-Nya. Cintaku tak bersisa wahai durja." Bisri menangisi sujudnya. Dzunuubi mitslu a'daadir rimaali fahablii taubatan yaa dzaljalaali

***

Al Adawiyya, hanya izinkan suara merdunya membaca puisi cinta, untuk-Nya. Rindu itu telah penuh, cinta itu begitu utuh. Sedangkan aku, hanya berdiri pada satu garis tak berbentuk, sebagai pengecut. Tepat satu abad, aku menaruh iri pada Al Adawiyya. Dengan mencoba menatap Bisri yang kian kencang dengan istighfarnya. Aku melihat jelas, bibirnya membentuk jelas kalimat madah seperti apa yang dikucurkan dari bibirnya yang kering. Di sisinya aku berpuisi. Ini cinta kian tak kumengerti apakah ia berbentuk seorang dewi. Ataukah sekedar rangsang birahi. Seribu puisi tidak pernah memberi arti, jika cinta tetap saja tak kupahami

***

Al Adawiyya masih menatap langit. Entah karena gerah dengan puisiku yang lebih mirip basa-basi. "Jika engkau masih belum bisa utuh menapak di jalan sufi, engkau hanya menjadi lelaki. Pikiranmu akan terus dalam bayang Sang Perawan. Aku pernah membanggakan keperawanan itu, tapi tidak pernah kuberikan pada siapa jua, karena cuma Dia yang kuasa membuatku jatuh cinta. Tanpa perlu kutanggalkan keperawananku." Aku sedang tidak sadar, apakah kalimatnya sempurna merasuk ke dalam kupingku yang penuh bernanah. Melanjutkan kembali puisi-puisi serupa kepul asap di atas tungku berapi. Duhai, mataku penuh dengan gambar bunga. Inderaku masih melekat utuh seluruh harumnya. Cinta membawaku pada nirwana yang tak kumengerti dimana.


***

Surat cinta Bisri kudapati sudah berada ditanganku, kugenggam dengan pucat pasi. Sedang ia hanya berbisik dengan senyum datar."Kau akan merasakan seperti apakah gelora itu, kau harus menggenggam dan merasakan seperti apakah sentuhan bara api. Kau akan temukan bentuk hati yang mungkin terkadang rapi, tapi seringkali membuatmu kian tak mengerti. Itu percik kecil cinta sejati. Yang hanya kau pahami setelah selesai satu abad lagi." Iapun berlalu pergi mengayunkan kaki pada segumpal kabut yang tak pernah kukenali.

***

Al Adawiyya melecutkan satu cambukan ke tubuhku, memerah. Aku hanya tengadah, karena ia kudapati sudah berdiri di salah satu awan yang membuatku buta warna."Kau jalanilah seluruh jengkal jalanan. Pelajari cinta dari kicau-kicau burung saat pagi. Bacalah saja aksara cinta yang ditulis bumi tanpa ngeri. Eja semua kata yang ditulis langit dengan gemintang, awan, mendung, hujan, angin. Ada banyak ruang yang harus kau masuki, untuk kemudian kau temukan ruang manakah yang tepat untuk tubuhmu yang kian kurus karena ketidakmengertian itu."

Lagi, aku hanya bisa berpuisi seakan memaksa melupakan sepi.

Seperti apakah rupa cinta yang dirasakannya wahai Engkau yang telah membuatku menjadi lelaki tuli.

Hingga membuatku kian tak mengerti suara perawan itu yang begitu lekat terpatri.

Seperti apakah halaman buku yang Kau tuliskan tentang takdir seorang lelaki sunyi.

Apakah perawan itu lebih dulu mengerti seperti apakah rupa matahari?

***

Hanya sunyi. Hanya hening. Sama sekali tak ada lagi gemerincing gelang kaki yang merangsangku serupa melihat penari telanjang. Aku merasakan cinta itu terkadang seperti tanah kerontang.

"Kemarilah," Al Adawiyya bicara mesra serupa kekasihku. Entah kenapa ia berikan tangan halusnya untuk menyentuh tanganku, digenggam dengan tangan yang selembut kapas itu. Yang terjadi, akupun mati seketika, mayatku dibaringkannya di sebuah taman bunga. Arwahku hanya menatap jasad itu, masih tak mengerti.

"Cinta itu adalah ketakutanmu pada kematian."

***

Meski kematian itu telah datang, sepertinya cinta itu juga takkan pernah dipahami.

"Untuk apakah juga aku diajarkan pelajaran harapan duhai Perawan?"

Al Adawiyya melemparkan senyum dari wajahnya yang memerah. "Hanya agar engkau tak hanya meraba dan memungut kata-kata saja, wahai Perjaka."

"Tetapi bukankah semua kata yang kupungut itu adalah harta, yang kusihir menjadi permata. Membuat beribu pasang mata kian terang melihat syurga?"

"Cinta itu bukan kemampuan untuk melihat syurga atau membuat kekasihmu sekedar melihat yang sama. Kau hanya disebut mengenal cinta saat kunci satu kamar di sana diberikan padamu, dan kau bersedia berikannya pada perawan yang kau cinta."

Kali ini, kuharap aku bisa mengerti

----------------

Al Adawiyya/ Rabiah Al Adawiyyah: Adalah seorang sufi wanita yang di dalam beberapa referensi sufistik tidak pernah menikah. Ia mengajarkan mahabbah (cinta pada Khalik) Bisri/ Hasan al Basri: Sufi yang dalam beberapa kitab disebutkan pernah berniat untuk menikahi Al Adawiyya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun