Ada perasaan yang sulit digambarkan dengan kata-kata ketika seseorang menerima gaji pertamanya. Bukan hanya soal uang yang akhirnya masuk ke rekening setelah menanti dengan harap-harap cemas, tapi lebih pada simbol dari sebuah perjalanan panjang yang telah ditempuh dengan penuh perjuangan, dari bangku sekolah hingga dunia kerja yang sesungguhnya.
Bagi sebagian orang, gaji pertama adalah puncak dari harapan masa kecil. Saat itu, kita bermimpi: "Suatu hari nanti aku ingin punya penghasilan sendiri." Dan ketika hari itu datang, rasanya seperti berdiri di puncak bukit kecil pertama dalam hidup, melihat ke bawah pada semua usaha, lelah, dan peluh yang telah ditukar untuk satu amplop atau notifikasi transfer gaji.
Namun mari jujur --- meski kita sering berkata bahwa gaji bukanlah segalanya, tetap saja tidak digaji setelah bekerja bisa meninggalkan luka batin yang dalam. Bukan karena kita mata duitan, melainkan karena kita butuh pengakuan bahwa jerih payah kita dihargai. Kita ingin tahu bahwa apa yang kita kerjakan memiliki arti. Dan kadang, angka itu menjadi representasi dari nilai kontribusi kita dalam dunia nyata.
Tapi hidup bukan hanya tentang angka. Gaji pertama bukan hanya penghasilan pertama, tapi juga pelajaran pertama. Dalam setiap tugas yang diselesaikan, dalam setiap rapat yang dijalani, dalam setiap tantangan yang dihadapi di tempat kerja, sesungguhnya kita sedang meng-upgrade diri, memperluas wawasan, mengasah karakter, dan menanamkan nilai tanggung jawab yang nyata.
Saya adalah seorang pendidik. Di sekolah tempat saya mengajar, saya belajar lebih dari yang saya ajarkan. Anak-anak adalah guru kehidupan. Rekan kerja adalah cermin untuk berkaca. Lingkungan kerja adalah ladang amal sekaligus laboratorium pertumbuhan diri.
Ketika saya menerima gaji pertama saya, saya tidak langsung membelanjakannya. Saya letakkan uang itu di atas meja. Saya pandangi lama-lama, bukan karena nominalnya besar, tapi karena maknanya dalam. Di depan lembaran rupiah itu, saya tunduk. Saya berdoa:
"Ya Allah, jika ini adalah rezeki dari-Mu, maka berkahilah. Jadikan ia manfaat, bukan hanya untukku, tapi juga untuk mereka yang kusayangi dan mereka yang membutuhkan."
Lalu saya mulai memplotkan --- bukan hanya untuk kebutuhan hidup selama satu bulan ke depan, tapi juga untuk orang tua saya, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan ini. Saya sisihkan pula sebagian untuk orang lain yang mungkin tak seberuntung saya. Bagi saya, meski belum wajib karena belum mencapai nisab, 2,5% adalah komitmen pribadi untuk belajar ikhlas, untuk memberi, untuk berbagi.
Ada rasa bangga, tentu saja. Tapi lebih dari itu, ada rasa syukur yang mendalam. Rasa bahwa Allah sedang mengajari saya satu hal penting: bahwa rezeki sejati bukanlah apa yang kita genggam, tapi apa yang kita relakan untuk kebaikan.
Hari itu, saya belajar bahwa gaji pertama bukan sekadar tanda "akhir dari masa magang" atau "resmi jadi orang kerja." Ia adalah titik awal kedewasaan, sebuah pertanyaan sunyi yang datang dari dalam hati: