Berbagi (baca: sedekah dalam konteks ibadah) adalah wujud dari pandai bersyukurnya seseorang. Banyak orang yang masih "miskin", tetapi sudah pandai berbagi, padahal untuk dirinya sendiri saja kurang, tidak cukup. Mereka, tidak harus menunggu "kaya" untuk berbagi. Sebaliknya, banyak orang yang sudah "kaya", tetapi tetap tidak pandai berbagi. Mereka terus merasa kurang dan tidak cukup, sebab tidak pandai bersyukur.
(Supartono JW.02102025)
Kisah yang termaktub dalam kitab "Mukasyafah al-Qulub" karya Imam al-Ghazali mengingatkan kepada kita agar tidak bangga dengan ibadah-ibadah kita. Sebab, semua ibadah yang dilakukan, tidak akan menjamin seseorang dicintai Allah dan masuk surga-Nya.Â
Cinta terhadap sesama, dibuktikan dengan "berbagi (bersedekah)", menjadi kunci agar Allah mencintai kita.
Dijelaskan dalam kisah tersebut,
Nabi Musa bertanya kepada Allah, "Ibadah apa yang membuat Engkau senang, ya Allah?"Â
Jawabannya "Mencintai sesama dan bersedekah (berbagi). Tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang kesusahan dengan sedekah, sesungguhnya aku berada di sampingnya," jawab Allah.
Saya siapa?
Bila saya sudah tergolong orang yang dalam hal ekonomi cukup/lebih dari cukup/berkecukupan/kaya/kaya raya/dll?Â
Apakah selama ini, saya sudah menjadi orang yang pandai bersyukur? Menjadi orang yang selalu bertanggung jawab menunaikan  kewajiban kepada keluarga/kekeluargaan/orang lain/pihak lain/masyarakat? Tidak takut kehilangan yang bukan milik? Sehingga pandai "berbagi" (bersedekah) kepada keluarga/kekeluargaan/orang lain/pihak lain/masyarakat.Â
Atau?
Saya tetap menjadi orang yang tidak pandai bersyukur? Menjadi orang yang tidak bertanggung jawab menunaikan  kewajiban kepada keluarga/kekeluargaan/orang lain/pihak lain/masyarakat? Takut kehilangan yang bukan milik? Sehingga tidak pandai "berbagi" (bersedekah) kepada keluarga/kekeluargaan/orang lain/pihak lain/masyarakat?