Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional, sosial, dan pengamat sepak bola nasional. Ini Akun ke-4. Akun ke-1 sudah Penjelajah. Tahun 2019 mendapat 3 Kategori: KOMPASIANER TERPOPULER 2019, ARTIKEL HEADLINE TERPOPULER 2019, dan ARTIKEL TERPOPULER RUBRIK TEKNOLOGI 2019

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kematian dan Menulis

4 Mei 2023   10:45 Diperbarui: 4 Mei 2023   12:13 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Pagi yang cerah, Kamis (4/5/2023), duduk di teras rumah, rileks sebelum menjalankan aktivitas, sambil menyeruput kopi. Lalu, membaca artikel-artikel hangat di media online, pikiran pun melayang, mengulang ingat tentang perayaan 100 hari Mas Nano. 

Sejak sepulang dari perayaan 100 hari Mas Nano, yang ada di kepala saya terus terpikir tentang "Kematian" dan "Menulis".

Sebab, sekarang saya masih diberikan kesempatan hidup, maka kematian saya maknai sebagai sesuatu yang tidak boleh mati, saat saya masih mampu untuk berbuat di dalamnya. Salah satu yang saya masih mampu saat ini, di luar aktivitas saya yang utama, saya masih mampu dan akan terus memiliki waktu untuk menulis, seperti semangat Mas Nano dalam menulis semasa masih hidup. Pun, tetap memiliki semangat untuk menulis di duniaNya.

Kopi saya seruput lagi. Kemudian saya buka galeri foto di handphone, ternyata mata terhenti menatap, pada sebuah foto kenangan. Yah, foto itu tentang kisah bersama Tim Kompasiana.com, onloc APP Sinarmas yang menjadi official partner Asian Games 2018, di Sinarmas Land Plaza Thamrin, 15 Agustus 2018.

Mengingat foto tersebut, langsung mengingatkan saya bahwa ternyata, sejak  melibatkan diri menjadi penulis di Kompasiana, sejak akun pertama, kedua, ketiga, dan kini akun keempat, total ribuan artikel sudah saya goreskan di Kompasiana. Menjadi Kompasianer terpopuler, artikel terpopuler, topik terpopuler, sudah saya raih. Menjadi penulis berstatus PENJELAJAH sudah saya genggam. Memperoleh K-rewards jutaan rupiah juga sudah saya kantongi.

Lalu apa hubungannya antara kematian, menulis, dan kenangan bersama Kompasiana, bagi saya? Ternyata, menonton "Monolog Pulang" yang ditulis, disutradarai, dan dimainkan Mas Nano Riantiarno,  ditayangkan di kanal YouTube Teater Koma sejak 6 Juni 2021, hingga menonton lagi di Peringatan 100 Hari Berpulangnya Mas Nano, di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Minggu, 30 April 2023, di dalamnya, saya ambil dua mata pelajaran yang sangat berharga bagi saya, kita, yang masih diberikan nikmat hidup di dunia oleh Tuhan.

Dua mata pelajaran atau mata kuliah yang sangat sarat makna itu adalah tentang KEMATIAN dan MENULIS.

Kematian

Menonton Monolog Pulang, menjadikan saya selalu ingat tentang ajaran agama tentang "Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara", yang senafas dengan KEMATIAN.

Sebagai manusia, saat saya, kita, masih diberikan kesempatan hidup di dunia, maka sebelum saya, kita, menghadapNya, menghadapi KEMATIAN,  wajib selalu ingat dan mengamalkan 5 perkara, sebelum datang 5 perkara. Sebab, bila disimpulkan, datangnya 5 perkara itu, semua dapat saya artikan sebagai "kematian". Karenanya, terhadap 5 perkara, saya, kita wajib ingat, sadar, memanfaatkan, menjaga, dll. Sebab; bila tidak ingat, tidak sadar, tidak memanfaatkan, tidak menjaga, maka yang ada adalah penyesalan alias kematian, karena saya, kita tidak dapat mengulang lagi yang sudah saya, kita, lalui, lewati, jalani, lakukan, dll.

Untuk itu, saya, kita wajib ingat, sadar, memanfaatkan, menjaga, dll tentang:

[1] Waktu muda sebelum datang waktu tua,
[2] Waktu sehat sebelum datang waktu sakit,
[3] Masa "kaya" sebelum datang masa kefakiran, "miskin".
[4] Masa luang sebelum datang masa sibuk,
[5] Waktu hidup sebelum datang kematian.

Menulis

Berikutnya, tentang MENULIS. Mas Nano juga mengajarkan tentang MENULIS di dunia, dan semangat menulis pun akan di bawa ke duniaNya.

"Kalau aku pulang, kelak, semoga masih diperbolehkan untuk menulis."

Semoga Mas Nano senantiasa berada di sebuah tempat yang luar biasa bagus, nyaman, adem, tentrem, penuh kebahagiaan, sehingga dapat terus menulis di sana. Aamiin. 

Menulis adalah melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan, mengarang cerita, menggambar, melukis.

Terkait menulis ini, keteladanan Mas Nano dalam menulis, luar biasa jejaknya. Meski sebelum menjadi bagian dalam kehidupan Mas Nano bersama Teater Koma sejak 1993, saya sudah menjadi penulis opini di beberapa media cetak. Sudah menjadi penulis naskah drama untuk kebutuhan pementasan di Kampus dan Teater saya sendiri sejak 1989. Sudah menjadi penulis lagu/puisi, untuk kebutuhan pementasan drama saya, namun menjadi bagian dalam kehidupan Mas Nano, spirit menulis dalam pikiran dan hati saya tambah berkobar.

Bila sebelum bergabung dengan Teater Koma, khususnya dalam menulis opini,  saya masih terbatas menulis tentang sastra dan pendidikan sesuai jalur pendidikan akademis saya. Lalu, menulis sepak bola nasional sesuai passion saya.

Namun, bergabung di Teater Koma, bersama Mas Nano, saya mendapatkan mata pelajaran/mata kuliah di semua jurusan. Pelajaran/mata kuliah di semua jurusan saya peroleh di setiap proses produksi pertunjukkan Teater Koma yang saya terlibat sebagai pemain.

Pelajaran/mata kuliah semua jurusan itu, saya terima dan saya ikuti secara mengalir dan detail. Mulai dari awal produksi, proses produksi, saat pementasan, hingga pada bagian evaluasi. Dan, yang akan selalu saya ingat adalah saat dalam bagian proses "bedah naskah". Di dalamnya sarat dengan berbagai-bagai yang pada ujungnya mengerucut pada kesiapan aktor yang cerdas memahami naskah dan pemeranan.

Semua tidak ada bagian yang terpisahkan. Semua adalah pelajaran kehidupan di seluruh bidang. Peta kecilnya tersaji di atas panggung pertunjukkan saat saya menjadi aktor sesuai peran yang ditugaskan. Tetapi, dasar memerankannya butuh pondasi layaknya balok es yang mengapung di air.

Balok es yang nampak di permukaan, hanyalah penampang atasnya. Itulah ibarat peta kecil panggungnya. Sementara bagian balok es yang lain tidak nampak, padahal ada 5 sisi lain dan isi es yang tersembunyi di bawah permukaan air, yang menjadi pondasi dan tumpuan bagi penampang yang nampak di permukaan air.

Itulah gambaran, bahwa untuk memainkan peran sekecil apa pun di atas panggung sandiwara, saya, kita butuh ilmu pengetahuan, butuh wawasan, butuh pendidikan, butuh pelatihan, butuh pembinaan, butuh ajaran dan keimanan, butuh proses, butuh pengalaman, harus sungguh-sungguh, disiplin, konsisten, tahu diri, membumi, siap raga, siap sukma, siap penciptaan, kreatif, inovatif, dll, sehingga peran sekecil apa pun di atas panggung akan dimainkan secara cerdas dan berkualitas karena kuat dan kokoh pondasi di bawahnya, yang tidak nampak.

Semua mata pelajaran/mata kuliah yang dididik dan diajarkan Mas Nano di Teater Koma, nyatanya dari semua jurusan peri kehidupan. Lebih dari jumlah SKS yang wajib ditempuh seseorang untuk mendapatkan gelar akademik formal hingga S3 sekali pun.

Pasalnya, semuanya sama sekali tidak berbeda untuk saya, kita, dalam menjalani hidup di panggung kehidupan nyata sesuai peran saya, kita, berdasarkan kemampuan, kompetensi, dan bekal keilmuan-pendidikan.

Dari situlah, saya mendapat bekal untuk.memerankan diri sebagai penulis opini di media cetak dan online, di luar bidang sastra, pendidikan, dan sepak bola, karena pendidikan dan ajaran Mas Nano, mencakup seluruh mata pelajaran/mata kuliah berbagai jurusan sesuai peri kehidupan manusia.

Jadi, mengapa selama ini saya terus aktif menulis? Karena inspirasi dari pendidikan dan ajaran Mas Nano. Sebab pendidikan dan ajaran Mas Nano, maka khusus di Kompasiana, yang baru di 2018 saya bergabung, saya sudah menulis ribuan artikel. Dari ribuan artikel itu, spiritnya adalah memotret semua sendi kehidupan, bukan hanya menyoal pendidikan, sastra, dan sepak bola. 

Menulis di berbagai media cetak sejak 1989, lalu media-media tempat saya menuangkan ide dan gagasan tutup (baca: mati), saya pun tidak ingin mati dalam menulis. Maka, Kompasiana adalah salah satu media yang membuat pikiran dan hati saya tetap hidup. Meski tiga akun telah diblokir, namun akun keempat pun tetap membuat saya hidup dalam menulis. 

Menulis untuk kemaslahatan umat, rakyat Indonesia. Aamiin. Terima kasih Mas Nano tentang pendidikan "Kematian" dan "Menulis"nya. Terima kasih Kompasiana, terus membuat saya hidup dalam menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun