Balok es yang nampak di permukaan, hanyalah penampang atasnya. Itulah ibarat peta kecil panggungnya. Sementara bagian balok es yang lain tidak nampak, padahal ada 5 sisi lain dan isi es yang tersembunyi di bawah permukaan air, yang menjadi pondasi dan tumpuan bagi penampang yang nampak di permukaan air.
Itulah gambaran, bahwa untuk memainkan peran sekecil apa pun di atas panggung sandiwara, saya, kita butuh ilmu pengetahuan, butuh wawasan, butuh pendidikan, butuh pelatihan, butuh pembinaan, butuh ajaran dan keimanan, butuh proses, butuh pengalaman, harus sungguh-sungguh, disiplin, konsisten, tahu diri, membumi, siap raga, siap sukma, siap penciptaan, kreatif, inovatif, dll, sehingga peran sekecil apa pun di atas panggung akan dimainkan secara cerdas dan berkualitas karena kuat dan kokoh pondasi di bawahnya, yang tidak nampak.
Semua mata pelajaran/mata kuliah yang dididik dan diajarkan Mas Nano di Teater Koma, nyatanya dari semua jurusan peri kehidupan. Lebih dari jumlah SKS yang wajib ditempuh seseorang untuk mendapatkan gelar akademik formal hingga S3 sekali pun.
Pasalnya, semuanya sama sekali tidak berbeda untuk saya, kita, dalam menjalani hidup di panggung kehidupan nyata sesuai peran saya, kita, berdasarkan kemampuan, kompetensi, dan bekal keilmuan-pendidikan.
Dari situlah, saya mendapat bekal untuk.memerankan diri sebagai penulis opini di media cetak dan online, di luar bidang sastra, pendidikan, dan sepak bola, karena pendidikan dan ajaran Mas Nano, mencakup seluruh mata pelajaran/mata kuliah berbagai jurusan sesuai peri kehidupan manusia.
Jadi, mengapa selama ini saya terus aktif menulis? Karena inspirasi dari pendidikan dan ajaran Mas Nano. Sebab pendidikan dan ajaran Mas Nano, maka khusus di Kompasiana, yang baru di 2018 saya bergabung, saya sudah menulis ribuan artikel. Dari ribuan artikel itu, spiritnya adalah memotret semua sendi kehidupan, bukan hanya menyoal pendidikan, sastra, dan sepak bola.Â
Menulis di berbagai media cetak sejak 1989, lalu media-media tempat saya menuangkan ide dan gagasan tutup (baca: mati), saya pun tidak ingin mati dalam menulis. Maka, Kompasiana adalah salah satu media yang membuat pikiran dan hati saya tetap hidup. Meski tiga akun telah diblokir, namun akun keempat pun tetap membuat saya hidup dalam menulis.Â
Menulis untuk kemaslahatan umat, rakyat Indonesia. Aamiin. Terima kasih Mas Nano tentang pendidikan "Kematian" dan "Menulis"nya. Terima kasih Kompasiana, terus membuat saya hidup dalam menulis.