Jakarta – Di tengah riuhnya ibu kota yang tak pernah benar-benar tidur, Perpustakaan Jakarta di kawasan Taman Ismail Marzuki, Cikini, menyuguhkan suasana berbeda. Tenang, nyaman, dan tetap hidup. Kebijakan terbaru yang memperpanjang jam operasional hingga pukul 22.00 WIB membuka peluang baru bagi mereka yang ingin berkawan lebih lama dengan buku atau sekadar meminjam keheningan untuk belajar dan bekerja.
Langkah ini bukan tanpa alasan. Menurut Daffa Nauvaldi, petugas layanan PDS HB Jassin, kebijakan ini diinisiasi oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) DKI Jakarta atas arahan langsung Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, sebagai upaya meningkatkan minat baca masyarakat urban.
“Ini supaya minat baca warga Jakarta makin tinggi. Apalagi angka pengunjung Perpustakaan Jakarta dan PDS HB Jassin memang terus meningkat,” ujarnya saat ditemui di layanan lantai lima.
Respon masyarakat cukup positif, terlebih di akhir pekan atau masa libur sekolah. Daffa mencatat, kunjungan bisa mencapai 4.000 orang per hari. Kalangan mahasiswa dan pekerja mendominasi suasana, banyak di antaranya memanfaatkan area ini untuk bekerja jarak jauh atau belajar kelompok.
Tisya, mahasiswi Ilmu Politik, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, termasuk salah satunya. Ia kerap datang malam hari untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah.
“Lebih nyaman dan tenang, karena kondisi nya meskipun ramai yang datang bisa tetap kondusif,” ungkapnya.
“Jam buka sampai malam ini sangat membantu. Kadang tugas yang saya kerjakan dari pagi belum tentu selesai siang atau sore.”
Bagi Tisya dan banyak mahasiswa lain, Perpustakaan Jakarta bukan hanya sekadar tempat membaca. Ia menjadi ruang aman, tempat menata ulang fokus setelah hari yang melelahkan. Di sana, waktu berjalan lebih lambat, seolah memberi ruang untuk bernapas dan memikirkan ulang segala yang perlu dibereskan, baik tugas kampus maupun hal-hal dalam kepala yang kerap menumpuk.
Namun, kebijakan ini tak lepas dari tantangan, terutama di sisi operasional. Selain harus membagi jadwal dengan sumber daya terbatas, keamanan di luar area perpustakaan juga menjadi sorotan.
“Pernah ada petugas kebersihan yang dijambret waktu pulang malam,” jelas Daffa.
“Security di dalam gedung sudah siaga, tapi kalau sudah di luar tetap tergantung masing-masing.”
Menurut Daffa, upaya untuk memperpanjang jam operasional ini tidak serta-merta dilakukan tanpa pertimbangan. Meski belum melalui fase uji coba, pihak pengelola tetap mengusahakan pelayanan terbaik di tengah keterbatasan, termasuk pembagian kerja dengan sistem sif.
Suara ketukan keyboard dan sesekali gesekan kursi berpadu dengan denting lembut lift yang terbuka. Tidak bising, tidak pula sunyi. Perpustakaan Jakarta di malam hari menjadi ruang transisi, antara kesibukan siang dan istirahat malam.
Bagi sebagian orang, tempat ini mungkin menjadi pelarian dari kepadatan rumah, dari tekanan pekerjaan, atau sekadar dari dunia luar yang terasa terlalu cepat. Di balik rak-rak buku itu, ada harapan-harapan kecil yang tumbuh diam-diam, tentang skripsi yang ingin diselesaikan, mimpi yang ingin dikejar, atau mungkin sekadar malam yang ingin dilewati dengan damai.
Meski begitu, suasana damai tetap terasa di tiap sudut ruang. Tumpukan buku, jendela tinggi, dan cahaya lampu kuning hangat seolah memeluk siapa pun yang datang. Di lantai empat, anak-anak berlarian pelan di antara rak, sementara mahasiswa tenggelam dalam layar laptop dan lembar catatan.
Kebijakan ini mungkin hanya soal jam. Tapi bagi banyak orang, malam di Perpustakaan Cikini adalah ruang aman untuk belajar, merenung, bahkan merawat harapan. Bahwa di tengah bisingnya Jakarta, masih ada tempat untuk tenang, meski hanya sebentar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI