Orang mungkin mengira, kisah perjuangan dan keberanian hanya milik mereka yang tampil di televisi atau panggung besar. Tapi tidak, kadang ia bersembunyi di balik uap dapur, dalam wajan-wajan sederhana, dan senyum hangat perempuan yang tak pernah menyerah pada keadaan.
Di Blawong 2, sebuah dusun di Trimulyo, Jetis, Bantul, Yogyakarta, ada satu kios kecil yang hampir tiap pagi tercium aroma manis kacang hijau dan tepung panggang. Tanpa spanduk mencolok, tanpa iklan besar-besaran. Tapi di balik etalase sederhana itu, tersimpan kisah yang lebih dari sekadar jual beli bakpia.
Namanya Bakpia Bu Sri Hariyani, usaha milik seorang perempuan tangguh berusia 43 tahun. Usaha ini baru dimulai pada tahun 2022, namun bukan berarti ia baru belajar hari itu juga. Sebaliknya, Bu Sri membawa pengalaman bertahun-tahun bekerja di toko bakpia orang lain dan kini untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia berdiri di belakang meja tokonya sendiri.
Dari Belakang Layar ke Garis Depan
Selama bertahun-tahun, Bu Sri menjadi tangan-tangan tak terlihat di dapur milik orang lain. Ia mengaduk adonan, membungkus bakpia, menyusun toples, tanpa pernah muncul di balik etalase. Tapi ternyata, semua pengalaman itu bukan sekadar rutinitas harian. Ia menyimpannya seperti seseorang menyimpan resep rahasia keluarga.Â
"Saya sudah lama kerja di tempat bakpia. Ya sudah tahu rasa, tahu proses. Tapi belum pernah yakin mau buka sendiri," ucapnya suatu pagi di kios kecilnya.
Namun tahun 2022 mengubah semuanya. Keinginan untuk punya penghasilan tambahan, dan dorongan untuk tak selamanya jadi "pekerja" membuat Bu Sri memberanikan diri membuka usaha sendiri. Ia memulai dari dapur rumah, hanya dengan alat seadanya, dan produksi harian sekitar 3 kilogram kacang hijau.
Awalnya, ia hanya bisa menitipkan bakpia buatannya ke warung-warung jajanan pasar. Ia tahu, tak mudah memperkenalkan produk baru, terlebih dari produsen kecil. Tapi seperti kulit bakpia yang dibentuk tipis namun sabar, ia percaya bahwa ketekunan akan memberi bentuk dan rasa pada mimpi-mimpinya.
Dari Rumah ke Kios Sendiri
Setahun kemudian, perlahan segalanya mulai berubah. Pembeli mulai mengenal rasa khas bakpianya yang isinya terasa legit dan kulitnya lembut, tidak keras seperti bakpia pasaran. Nama "Bakpia Bu Sri" mulai dibicarakan dari mulut ke mulut. Ia pun memberanikan diri membuka kios yang buka setiap hari dari jam 8 pagi hingga 20.30 malam.
Kini, ia tak sendiri. Satu karyawan tetap membantunya melayani pembeli dan memproduksi pesanan. Saat musim liburan tiba, permintaan bisa meningkat hingga tiga kali lipat, dan ia harus mencari tambahan tenaga agar semua pesanan bisa terlayani. Meski hanya punya satu kios kecil, semangatnya menyala seperti oven yang tak pernah padam.
Produknya pun tak hanya bakpia basah dan kering. Ia juga membuat yangko dan geplak, dua jajanan tradisional yang makin jarang ditemukan. Semua dibuat tanpa bahan pengawet, dengan rasa yang tetap dijaga, meskipun menghadapi tantangan berat terutama saat musim hujan, ketika bakpia basah lebih mudah menjamur dan harus dijual dalam waktu singkat.
"Kalau hujan terus, harus pintar-pintar atur. Jangan terlalu banyak produksi. Tapi harus tetap jaga rasa," katanya.
Lebih dari Sekadar Usaha
Apa yang dilakukan Bu Sri bukan sekadar bisnis. Ini adalah bentuk nyata keberanian perempuan di usia matang, yang tak lagi takut memulai dari nol. Di saat sebagian orang berpikir sudah terlambat, Bu Sri justru memulai langkahnya. Ia tidak menunggu keadaan sempurna. Ia hanya yakin bahwa pengalaman kerjanya selama ini bisa jadi bekal, bukan beban.
Yang menarik, kini anaknya pun mulai membantu menjalankan usaha ini. Dari rumah yang dulu hanya dapur kecil, sekarang berubah jadi tempat produksi sederhana, tempat harapan diracik setiap pagi. Bukan tidak mungkin, kelak usaha ini diwariskan dan berkembang lebih besar lagi. Dan yang membuatnya semakin membanggakan, semua ini dilakukan dengan modal keyakinan, bukan pinjaman besar.Â
Cita Rasa, Cerita, dan Cermin Ketekunan
Orang yang membeli bakpia Bu Sri mungkin hanya menikmati satu dua potong. Tapi mereka mungkin tak tahu bahwa setiap kulit tipis itu menyimpan cerita. Cerita tentang perempuan yang tak menyerah meski cuaca tak selalu cerah. Tentang ibu yang percaya bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti, tapi alasan untuk berjuang.
Mereka juga mungkin tak tahu bahwa usaha kecil seperti ini adalah jantung ekonomi desa, penggerak roda keluarga, dan penjaga warisan kuliner yang nyaris tergilas zaman. Di tengah gempuran bakpia industri dan oleh-oleh massal, bakpia Bu Sri hadir dengan rasa yang jujur dan cerita yang tulus.
Kini, nama "Bakpia Bu Sri" mulai dikenal, bukan hanya di dusunnya. Ada yang datang khusus ke kiosnya, ada yang membawa pulang sebagai oleh-oleh. Tanpa iklan besar, ia menembus hati pembeli lewat rasa yang konsisten dan pelayanan yang hangat.
"Yang penting jujur, dan jangan malas. Sedikit-sedikit, lama-lama bisa maju," ucap Bu Sri sambil membungkus satu kotak bakpia hangat.
Akhirnya, Semua Itu Terbayar
Dari usaha yang dimulai hanya untuk tambahan penghasilan, kini usaha ini benar-benar membawa keuntungan yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Bukan hanya secara ekonomi, tapi juga secara batin yang menjadi sebuah kepuasan karena bisa berdiri sendiri, memberi contoh pada anak-anak, dan menjadi inspirasi bagi ibu-ibu lain.
Mungkin tak semua orang bisa punya toko besar. Tapi semua orang bisa punya kemauan besar dan Bu Sri adalah contohnya. Ia tak menunggu dunia memberi tempat, ia menciptakan tempatnya sendiri. Ia tak menunggu orang datang, ia mendatangi mereka dengan rasa yang dibungkus ketulusan.
Dan mungkin, itulah yang membuat bakpia Bu Sri berbeda.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI