Dalam setiap helaian jarik yang dijahit, tersimpan filosofi Jawa: ketekunan, keharmonisan, dan rasa hormat pada yang lampau. Bagi Ibu Markhanah, mempertahankan nilai-nilai itu adalah misi utama. Tak heran jika ia begitu selektif terhadap bahan dan motif.
Sebagian besar bahan ia datangkan dari Pekalongan, pusat batik yang juga kaya akan motif klasik dan kontemporer. Ia memesannya secara online, menyesuaikan dengan kebutuhan pasar dan selera konsumen yang terus berubah. Namun, meski bahan bisa dari luar kota, nilai-nilai dalam proses produksi tetap dijaga: dikerjakan dengan tangan, dengan hati, dan dengan kebanggaan akan warisan leluhur.
"Kita ini cuma perantara," katanya pelan. "Yang penting jangan merusak apa yang sudah bagus dari dulu. Tinggal kita jaga dan teruskan."
Saat Tenaga Kerja Menjadi Tantangan
Meski permintaan pasar semakin besar, Ibu Markhanah tak selalu bisa menyambutnya dengan tangan terbuka. Masalah klasik UMKM datang menghampiri: tenaga kerja yang tidak selalu stabil.
"Kadang pesanan banyak, tapi yang kerja malah berkurang. Atau tidak bisa capai target," ujarnya. Hal ini membuat pengiriman sempat beberapa kali tertunda. Akhirnya, Khana Manten memilih untuk lebih selektif. Jika pesanan dianggap terlalu rumit atau tidak memungkinkan diselesaikan tepat waktu, lebih baik ditolak daripada kualitas dikorbankan.
Baginya, mempertahankan kepercayaan lebih penting daripada mengejar kuantitas. "Orang beli bukan cuma kain, tapi juga rasa percaya," ucapnya mantap.
Menjadi Inspirasi dari Dapur Kain Tradisi
Kisah Ibu Markhanah dan Khana Manten bukan sekadar cerita tentang menjahit jarik. Ini tentang melestarikan budaya, memberdayakan komunitas, dan mewujudkan kemandirian ekonomi dari rumah sendiri. Dalam setiap jahitan dan detail payet, terselip pesan bahwa tradisi bisa tetap hidup di tangan-tangan perempuan desa yang bersahaja.