Mohon tunggu...
Siti Khusnul Khotimah
Siti Khusnul Khotimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulis buku A Good Change: sebuah penerapan filosofi Kaizen bagi yang sedang berada di titik terendah. Menulis seputar Self-Improvement, Growth Mindset, dan Tips Penunjang Karir. Yuk berkawan di IG dan TT @sitikus.nl ✨ Salam Bertumbuh 🌻🔥

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Sebelum ke Sinema, Perlukah Sensor Mandiri terhadap Anak?

8 Agustus 2022   10:52 Diperbarui: 8 Agustus 2022   11:06 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga, setelah menonton film tersebut satu-satunya hal yang saya pahami adalah setan dapat muncul dimana saja. Apalagi kalau matahari sudah terbenam, sudah wayahnya setan bermunculan. Kenangan menonton horor selamanya akan menjadi mindset negatif dan memicu ketakutan berlebihan pada apa yang sejatinya "tak kasat mata".

Realita ini tidak dapat kita tepis hanya dengan menjauhkan anak dari sinema. Sebagaimana orang dewasa yang memiliki rasa penasaran, keingintahuan anak-anak terhadap hal-hal yang sedang booming tidak serta-merta membuat mereka patuh terhadap aturan pembatasan usia film. Anak akan mencari "celah" untuk dapat menonton film horor, bahkan yang tidak perlu membeli tiket.

Upaya mengedukasi anak terhadap "bahaya psikologis" dari menonton film horor tidak dapat kita sampaikan dalam bentuk ancaman maupun kekerasan verbal. Anak perlu diberi pemahaman mengenai jenis tayangan sesuai usianya. Kita juga perlu menyampaikan dampak yang akan dirasakan ketika anak "nekat" menonton film dengan rating yang dewasa. 

Sebelum ke sinema, berikut ini bentuk edukasi yang dapat kita lakukan terhadap anak:

1. Ajak anak brainstorming mengenai konten atau kejadian yang menurutnya "horor"

2. Jelaskan secara sederhana keterkaitan antara kejadian horor yang pernah dialami dan tayangan horor yang ingin sekali ditontonnya

3. Dengarkan pendapatnya secara seksama

4. Rekomendasikan anak dengan film yang memuat konten horor namun dalam bentuk 2D seperti kartun

5. Sampaikan pada anak, bahwa "apa yang kita tonton itu harus dapat kita pahami bukan sekadar mengikuti apa yang sedang tren".

Demikian ulasan dari saya mengenai "budaya sensor mandiri". Perkembangan mental anak juga harus kita prioritaskan selain pertumbuhan fisiknya. Oleh karenanya topik ini menarik sebagai wahana edukasi kita selaku orang dewasa.

Semoga artikel ini dapat menambah wawasan kita selaku penikmat film horor, agar kedepannya dapat lebih bijak lagi dalam menghadirkan tayangan bagi anak.

*****

Bagikan artikel ini jika dirasa bermanfaat :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun