Mohon tunggu...
Siti Khusnul Khotimah
Siti Khusnul Khotimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulis buku A Good Change: sebuah penerapan filosofi Kaizen bagi yang sedang berada di titik terendah. Menulis seputar Self-Improvement, Growth Mindset, dan Tips Penunjang Karir. Yuk berkawan di IG dan TT @sitikus.nl ✨ Salam Bertumbuh 🌻🔥

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Sebelum ke Sinema, Perlukah Sensor Mandiri terhadap Anak?

8 Agustus 2022   10:52 Diperbarui: 8 Agustus 2022   11:06 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kolase - snopes.com

Belakangan ini, dunia perfilman tanah air sedang gencar merilis film-film bergenre "horor". Kehadiran film-film baru besutan sutradara ternama membuat bulu kuduk setiap orang meremang: takut, tapi juga penasaran. Demam "nonton horor" ini secara bawah sadar dipicu oleh keberhasilan trik marketing yang membombardir jagat maya kita dengan adegan demi adegan dari film. Potongan film yang dibubuhi judul, pemeran, dan jadwal tayang membuat rasa penasaran kita semakin menggebu-gebu. 

Pencapaian ini disambut baik oleh pengelola sinema untuk menyediakan tiket "pre-sale" demi mendongkrak permintaan pasar. Bagai menjemput bola, berbagai promo ditawarkan agar calon penonton secara sukarela membeli tiket sebelum jadwal tayang film di sinema. Trik ini tidak hanya jitu secara cashflow, tetapi juga makin membuat calon penonton panas-dingin karena takut kehabisan karcis.

Fenomena ini marak terjadi ketika film yang digadang-gadang dan dibungkus secara profesional mulai bertandang dari sinema ke sinema, berlabelkan "now showing". Gelombang anomali yang dihasilkan penonton tidak hanya berhenti di loket antrian, tetapi juga hadir di ruang pertunjukkan.

Berkat keberhasilan "dagang" melalui platform digital, sejumlah film horor yang memiliki rating usia terendah 13+ ramai diminati penonton berbagai usia. Tak jarang kita temui penonton film horor di bioskop adalah anak-anak. Mereka tidak datang sendiri, tentu saja, bersama orangtua atau kenalan yang usianya sudah lebih dewasa.

Pihak marketing bioskop maupun pihak dari film yang akan tayang tidak akan mempermasalahkan kategori penontonnya. Tanggungjawab mereka sudah tunai dengan menyisipkan usia rating yang layak untuk menikmati filmnya. Lantas, apakah dengan pembatasan usia pada poster film sudah cukup untuk menyeleksi penonton anak-anak?

Tentu saja tidak!

Saya akan menceritakan pengalaman menonton film horor saat saya masih berusia 10 tahun (sekitar tahun 2008), ketika film bergenre horor masih banyak ditayangkan di stasiun televisi. Sebagai anak di bawah umur, banyak sekali hal yang tidak saya pahami dari menonton film horor.

Pertama, tentu saja alur ceritanya yang dibawakan secara cepat dan menggunakan gaya bahasa orang dewasa, sehingga banyak pula istilah atau bahasa slang yang tidak saya mengerti dalam dialog antar pemeran. Kedua, segmen jumpscare, yang tidak dapat lepas dari benak saya (sekalipun sekarang tetap hobi nonton film horor).

Elemen "jumpscare" dalam film horor merupakan indikator kesuksesan bagi film itu sendiri. Semakin penonton berteriak histeris bahkan hingga meloncat keluar dari kursi, film tersebut sudah berhasil memporakporandakan pertahanan psikologis seseorang terhadap keberaniannya.

Namun, hal ini justru berbanding terbalik dengan kenyataan apabila film dengan "jumpscare" yang sukses tersebut ditonton oleh anak-anak di bawah umur. Secara psikologis, mental mereka belum siap menerima teror ketakutan dari makhluk halus. Apalagi sensasi menonton di bioskop dengan pengeras suara yang maksimal dan layar super-lebar, sehingga makin mudah menjatuhkan keberanian anak hanya dengan membawa mereka nonton film horor.

Ketiga, setelah menonton film tersebut satu-satunya hal yang saya pahami adalah setan dapat muncul dimana saja. Apalagi kalau matahari sudah terbenam, sudah wayahnya setan bermunculan. Kenangan menonton horor selamanya akan menjadi mindset negatif dan memicu ketakutan berlebihan pada apa yang sejatinya "tak kasat mata".

Realita ini tidak dapat kita tepis hanya dengan menjauhkan anak dari sinema. Sebagaimana orang dewasa yang memiliki rasa penasaran, keingintahuan anak-anak terhadap hal-hal yang sedang booming tidak serta-merta membuat mereka patuh terhadap aturan pembatasan usia film. Anak akan mencari "celah" untuk dapat menonton film horor, bahkan yang tidak perlu membeli tiket.

Upaya mengedukasi anak terhadap "bahaya psikologis" dari menonton film horor tidak dapat kita sampaikan dalam bentuk ancaman maupun kekerasan verbal. Anak perlu diberi pemahaman mengenai jenis tayangan sesuai usianya. Kita juga perlu menyampaikan dampak yang akan dirasakan ketika anak "nekat" menonton film dengan rating yang dewasa. 

Sebelum ke sinema, berikut ini bentuk edukasi yang dapat kita lakukan terhadap anak:

1. Ajak anak brainstorming mengenai konten atau kejadian yang menurutnya "horor"

2. Jelaskan secara sederhana keterkaitan antara kejadian horor yang pernah dialami dan tayangan horor yang ingin sekali ditontonnya

3. Dengarkan pendapatnya secara seksama

4. Rekomendasikan anak dengan film yang memuat konten horor namun dalam bentuk 2D seperti kartun

5. Sampaikan pada anak, bahwa "apa yang kita tonton itu harus dapat kita pahami bukan sekadar mengikuti apa yang sedang tren".

Demikian ulasan dari saya mengenai "budaya sensor mandiri". Perkembangan mental anak juga harus kita prioritaskan selain pertumbuhan fisiknya. Oleh karenanya topik ini menarik sebagai wahana edukasi kita selaku orang dewasa.

Semoga artikel ini dapat menambah wawasan kita selaku penikmat film horor, agar kedepannya dapat lebih bijak lagi dalam menghadirkan tayangan bagi anak.

*****

Bagikan artikel ini jika dirasa bermanfaat :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun