Lentera Hidup Itu Bernama Kebajikan
Jauh dari keramaian kota, di sanalah Bu Lasmini tinggal. Papan tempatnya berteduh bukanlah rumah dari kayu jati pilihan, melainkan kayu-kayu sisa yang dikumpulkannya dari pembangunan vila-vila milik pengusaha di kota.
Rumahnya tidak besar, hanya cukup untuk tidur 2 orang dan menyimpan stok dagangan untuk warungnya. Kesehariannya menjaga warung kecil yang menyediakan kopi dan mi rebus.
Sesekali Bu Lasmini menengok tanaman-tanaman hias yang dibiarkan tumbuh di polybag. Kami mengenal Bu Lasmini belum lama, tetapi kehangatan yang diberikan selama kami ikut duduk di warungnya membuat kami ingin kembali lagi dan bercengkrama.
"Kemana aja Nak, kok baru kelihatan?"
Bu Lasmini menyapa kami yang baru turun dari sepeda motor.
"Hehehe ada, Bu. Ibu sehat?"
"Alhamdulillah, Nak. Sini masuk. Mau minum apa?"
Kami disambut dengan tangan terbuka. Lelah karena menempuh 1,5 jam perjalanan seketika sirna ketika Bu Lasmini menyajikan dua cangkir kopi hitam yang masih mengeluarkan uap panas.
"Tadi Ibu tuh ngebatin, kok si Neng belum kesini lagi. Sehat kan, ya?"
Bu Lasmini memastikan keadaan kami.